Selasa, 06 November 2012

PERTEMUAN ALIANSI PEDULI TANO BATAK DENGAN MANAJEMEN PT TOBA PULP LESTARI

HUMBANG -Senin 05 November 2012, diadakan pertemuan APTB dengan Manajemen PT TPL, yang difasilitasi oleh Komnas HAM, yang dihadiri oleh pihak Kementerian Kehutanan.Dari PT TPL, hadir, Juangga Panjaitan (direktur) Lumbangaol (PR di Tele), Robin Sianturi (Supervisi wilayah Tele), Firman Purba, Orija Simanjuntak, Sinurat, Jasmin.


Sementara dari APTB, dihadiri oleh Suhunan Situmorang, Hot Asi Simamora, Gurgur Manurung, Herbet Sitorus, Nova Tobing, Mendagi Lumbangaol, Raja Pantun Lumbangaol, Edu Pandiangan.
Pembicaraan cukup alot, terutama karena dari pihak APTB menyatakan dengan tegas, MENOLAK KEHADIRAN PT TPL DI PANDUMAAN SIPITUHUTA.Akhirnya, akan ada pertemuan berikutnya yang direncanakan tanggal 19 Nov 2012.

Di akhir pembicaraan, APTB meminta dengan sangat tegas, agar PT TPL segera memerintahkan hari ini juga, agar operasional PT TPL di Pandumaan Sipituhuta, dihentikan sampai dengan waktu yang belum disepakati.

Sempat Juangga Panjaitan berusaha berkelit dengan berbagai dalih, terkait permintaan APTB, namun akhirnya disepakati, bahwa mulai besok sore, Selasa 6 Nov 2012, akan segera menghentikan kegiatan operasional PT TPL di Pandumaan Sipituhuta.
Sumber : Hot Asi Simamora (Aliansi Peduli Tano Batak)

Rabu, 24 Oktober 2012

Rusak Tatanan Kehidupan Masyarakat, Cabut Izin Toba Pulp Lestari

MEDAN | DNA - Ratusan warga Desa Panda Sipituhuta, KecamatanPollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Selasa (23/10/2012) yang tergabung dalam Sekber Reforma Agraria melakukan demo di Poldasu minta izin PT Toba Pulp Lestari (TPL) dicabut karena dianggap telah merusak tatanan kehidupan masyarakat yang telah merampas hutan kemenyan (Tombak Haminjon).

Dalam orasinya, salah satu Koordinator Aksi, Fery Marbun menyebutkan, perampasan hutan kemenyan itu telah mengakibatkan sumber penghidupan warga terancam punah. Perampasan itu dilakukan secara sistematis.

"Upaya perampasan hutan kemenyan seluas sekira 4.100 hektar yang sudah dimiliki dan diusahai masyarakat adat Desa Panduamaan dan Sipituhuta secara turun temurun sejak 300-an tahun lalu itu sudah berulangkali dilakukan TPL," sebut Fery.

Kata dia, PT TPL tak hanya merampas dan menebangi kayu tanaman warga jenis endemik, yakni tanaman yang tidak tumbuh di sembarang tempat. Untuk memuluskan aksi perambahan hutan itu, PT TPL melakukan berbagai trik licik berupa kriminalisasi terhadap warga yang mempertankan haknya.

Mereka mengesalkan pemerintah, khususnya Kementerian Kehutanan karena belum mampu memberi solusi konkrit dan adil untuk penyelesaian masalah warga Humbahas dengan PT TPL. Padahal, Pansus DPRD Humbahas telah melakukan pemetaan tapal batas dan menyampaikannya kepada pemerintah.

Menurut dia, permasalahan petani di Humbahas dengan PT TPL jauh dari rasa keadilan, jika kepolisian hanya memandang peristiwa bentrokan warga dengan karyawan PT TPL.

"Sebanyak delapan petani kemenyan yang mempertahankan areal hutannya juga terancam akan dikriminalisasi oleh Polres Humbahas setelah terjadinya bentrokan di hutan Sitangi pada 19 September 2012 lalu. ," katanya.

Dalam pernyataan sikap itu, selain meminta cabut izin PT TPL dan kembalikan tanah rakyat, juga hentikan pemeriksaan masyarakat Pandumaan dan Sipituhuta karena kepolisian bukan centeng PT TPL.

Tarik Brimob dari tanah rakyat Pandumaan dan Sipituhuta, hentikan intimidasi dan diskriminasi hukum terhadap warga, polisi harus netral, laksanakan rekomendasi dewan kehutanan nasional dan selamatkan hutan kemenyan sebagai sumber penghidupan rakyat.

Aksi massa itu ditanggapi para Wakil Direktur Satuan Kerja (Wadir Satker) Polda Sumut, diantaranya AKBP Mashudi (Wadir Reskrimum), AKBP Rudi Setiawan (Wadir Reskrimsus) dan Wadir Intelkam Polda Sumut. Ketiga perwira menengah itu menyatakan, akan menyampaikan aspirasi massa kepada pimpinan mereka. Setelah itu massa bubar dengan tertib.(sal/mdn)

Selasa, 16 Oktober 2012

Berani Mati Demi Hidup: Kisah Paska Bentrok Warga Pandumaan-Sipituhuta dengan TPL dan Aparat


HUMBANG - SUASANA di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan paska bentrok dengan pihak PT Toba Pulp Lestari, Tbk dan aparat Brimob di Tombak Haminjon (Hutan Kemenyan), tepatnya di Tombak Sitangi, pada 19 September 2012 yang lalu, hingga hari ini masih mencekam. Di setiap persimpangan jalan masuk menuju desa ini, terlihat warga dua desa masih berjaga-jaga. Bekas api unggun yang menemani mereka berjaga hingga dini hari pun masih tersisa.

Siang ini, 12 Oktober 2012, di sebuah warung, di Dusun Dongdong (Sipituhuta), kami menjumpai beberapa warga yang juga sedang berjaga-jaga. Mereka menjelaskan bahwa sampai saat ini suasana dua desa ini masih mencekam. “Kami akan tetap berjaga-jaga, karena Kapolres mengatakan akan tetap menangkap 8 (delapan) warga dengan caranya. Kami tidak mau teman kami ditangkap karena mereka berjuang mempertahankan tanah adat kami,” jelas mereka.

“Situasi ini membuat kami semakin berani. Kalau selama ini kami takut berhadapan dengan aparat polisi, sekarang kami tidak takut sama sekali. Mati pun kami sudah siap. Sebab sudah bosan kami mengadu ke sana-ke mari, tetapi tidak ada hasilnya. Dari pada kami mati karena sudah tidak memiliki sumber mata pencaharian, lebih baik kami mati berjuang mempertahankan tombak haminjon tersebut. Ini menyangkut hidup kami dan masa depan anak-anak kami. Apapun akan kami lakukan mempertahankan hidup kami,” kata salah seorang warga.

Mereka juga menjelaskan bahwa akibat dari persoalan ini, sekarang mereka diperhadapkan dengan sesama mereka. “Kami semua bersaudara di dua desa ini. Tetapi karena TPL, kami sekarang mulai dipecah-belah. Mulai terjadi kesalahpahaman antara kami dengan sebagian warga desa ini, yakni warga Dusun Marade (Dusun I), yang sejak awal tidak ikut memperjuangkan tombak haminjon. Tetapi kami masih berupaya menahan diri, karena mereka juga adalah saudara kami,” jelas salah seorang warga.

Selanjutnya mereka menjelaskan penyebab dari kesalahpahaman ini, yakni  ketika warga dua desa  melakukan penjagaan, salah seorang warga Dusun Marade melintas bermaksud menjemput adiknya ke pinggir Tombak. Namun yang bersangkutan dicegat di Desa Pandumaan dengan alasan warga sedang berjaga, dan menawarkan supaya mereka (warga yang sedang jaga) yang menjemput adiknya keTombak. Salah seorang dari warga yang sedang jaga pun pergi menjemput adik si warga Dusun Marade tersebut ke pinggir tombak dan mengantarkannya ke Dusun Marade. Namun kejadian ini tidak bisa diterima warga Dusun Marade tersebut dan memberitahukannya ke warga Dusun Marade lainnya. Mereka pun bermaksud membalas hal ini dengan membuat plang di portal jalan keluar-masuk menuju Desa Sipituhuta dan Pandumaan, dan melarang warga dua desa tersebut melewati portal tersebut.

“Pendekatan terhadap warga Dusun Marade sudah dilakukan, dan mereka sudah membuka plang jalan tersebut. Kepala Desa Sipituhuta pun sudah menjamin tidak akan ada lagi masalah. Tapi kami masih khawatir kesalahpahaman ini masih berlanjut. Kami menyadari bahwa kami juga yang rugi kalau terjadi bentrok sesama kami, sebab kami semua bersaudara di sini. Ini yang tidak dipahami masyarakat seperti kami ini, bahwa kami sudah berhasil dipecah-belah TPL. Karena selama ini pihak TPL juga selalu mengatakan bahwa warga Dusun Marade sudah menjual lahannya ke TPL, dan merekalah (warga Dusun Marade) yang meminta TPL membuka jalan di tombak. Informasi ini tentu saja menimbulkan kecurigaan kami terhadap warga Marade tersebut,” lanjut salah seorang dari mereka.

Di Desa Pandumaan, malam harinya, kami juga menemukan warga sedang berjaga-jaga. Hujan yang tiba-tiba turun dengan deras, dan lampu (listrik) yang bolak-balik padam, tidak menghalangi mereka untuk tetap berjaga-jaga. Mereka berteduh di warung-warung yang ada, juga di teras rumah masing-masing.
Beberapa warga datang ke rumah Pdt Sinambela tempat kami diskusi. Dalam diskusi ini, mereka menjelaskan hal yang sama seperti yang dijelaskan warga Sipituhuta: bahwa mereka sudah siap mati untuk mempertahankan tombak haminjon yang merupakan sumber hidup mereka. “Selama ini kami sudah sabar, tetapi pihak TPL makin merajalela. Pengaduan kami tidak pernah ditanggapi tetapi pengaduan TPL dengan cepat ditanggapi. Kami bukan penjahat, kami berjuang mempertahankan hak kami atas tanah adat kami, kenapa kami yang ditangkap. Kenapa TPL yang merampas tanah adat kami tidak ditangkap? Petuah para leluhur dan orang tua kami, bahwa kalau ada yang merampas tanah adat kami, sekali dua kali diberi peringatan, kalau masih dilanggar, maka harus dipotong (dibunuh). Itulah hukum adat dan petuah para nenek moyang kami. Hal ini sudah kami katakan dihadapan Kapolres ketika rapat tertutup Uspida di DPRD (8 Oktober 2012). Tetapi kesepakatan di DPRD itu diingkari Kapolres,” papar mereka.

Selanjutnya Pdt Sinambela menjelaskan bahwa situasi ini tidak akan segawat ini kalau Kapolres pagi itu, melalui telepon, tidak mengatakan bahwa akan dilakukan pemeriksaan terhadap 8 warga di kantor Polsek Kecamatan Pollung. Padahal sebelumnya kesepakatan di DPRD tidak seperti itu. Tetapi Kapolres tetap berkeras dan mengatakan bahwa kami tokoh adat Pandumaan-Sipituhuta pengecut dan berusaha menyembunyikan 8 tersangka. Saya langsung menjawab bahwa kami bukan pengecut, bapak lah (Kapolres) yang  pengecut. Kalau bapak mau menangkap kami silahkan, datanglah ke desa. Saat itu Kapolres mengatakan bahwa polisi akan datang ke desa menangkap warga, makanya kami semua bersiap-siap menunggu kedatangan para polisi tersebut. Perdebatan kami melalui telepon itu didengar banyak warga, karena saya gunakan speakernya. Tetapi hingga malam kami tunggu, mereka tidak datang, jelas Pdt Sinambela.

“Dalam situasi yang sudah seperti ini pun pihak TPL tetap beroperasi di tombak. Yang kami perjuangkan adalah haminjon (kemenyan), sumber hidup kami, dan tanah adat kami. Kalau haminjon sudah habis ditebang, apa gunanya kami berjuang selama ini? Karena itulah kami menjaganya. Pada saat 60-an warga diutus menjaga tombak, mereka menemukan 30-an pekerja TPL sedang berada di lahan dengan membawa parang dan pedang, sepertinya mereka sudah menunggu warga dan bersiap-siap untuk bentrok. Awalnya pekerja TPL ini masih sok berani, tetapi ketika mereka lihat jumlah warga yang datang makin banyak, mereka pun mulai mundur dan lari. Tetapi warga mengatakan bahwa warga ke sana bukan untuk berperang, hanya untuk menjaga tombak dan untuk mengingatkan pekerja TPL agar tidak bekerja di lahan warga. Warga pun meminta mereka untuk ikut ke kampung sebagai bukti bahwa TPL masih beroperasi di lahan sengketa. Tiga orang dari pekerja TPL ini pun bersedia dibawa ke kampung. Mereka mengaku sebagai Humas TPL Pius Butar-butar, dan security TPL yakni Hendra Sirait dan Herwandy Sitorus. Namun kami masih curiga di antara ketiganya ada anggota Brimob. Tapi kami sudah menyerahkan ketiganya ke Polres. Biarlah Polres yang menyelidikinya. Yang jelas, kami tidak menculik mereka, bahkan mereka kami perlakukan dengan baik dan kami kasih makan,” jelas mereka tentang adanya pengaduan pihak TPL ke Polres bahwa telah terjadi penculikan terhadap pekerja TPL.  

Setelah masing-masing mengisahkan kejadian ini, sejak terjadinya bentrok dengan security TPL dan aparat Brimob, hingga 3 orang yang mengaku sebagai karyawan TPL mereka bawa ke kampung sebagai bukti bahwa pihak TPL masih tetap beroperasi di lahan sengketa, hingga ketiga karyawan TPL tersebut diserahkan ke Polres, maka sekitar pkl.23.00.Wibb, kami pun pamit pulang menuju Parapat. ***



Parapat, 13 Oktober 2012
Suryati Simanjuntak
KSPPM

Jumat, 12 Oktober 2012

Bupati ,Tolong jangan sembunyi

DOLOKSANGGUL– Warga Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan meminta pemkab jangan tutup mata atas peristiwa yang mencekam yang terjadi dua hari terakhir terkait permasalahan warga dengan PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). 

Hingga kemarin tak ada satupun pejabat pemkab yang berusaha turun ke lapangan atau memberikan komentar atas kejadian terakhir turunya ribuan warga ke jalan.Aksi ini dilakukan untuk menghalangi polisi menjemput delapan warga Kecamatan Pollung.Mereka menjadi saksi terjadinya pembakaran alat berat milik PT TPL, 19 September lalu.

“Belum ada campur tangan pemkab atau dukungan. Bahkan kami tidak tahu apakah Bupati Humbahas Maddin Sihombing mengetahui insiden ini atau tidak,” ujar tokoh masyarakat dari dua desa Pendeta Haposan Sinambela,kemarin. Haposan menilai yang terjadi saat ini tidak lepas dari lemahnya pemkab dalam mendukung perjuangan rakyat yang sudah empat tahun mempertahankan hutan adat mereka. Selama ini pemkab tidak serius mengupayakan pembebasan kawasan adat dari lahan PT TPL.

“Kami bukan merampas,tetapi mempertahankan.Sebab selama ini kami tetap mengelola lahan adat kami dengan baik.Jadi bukan lahan TPL yang kami minta,namun lahan kami yang kami jaga,”ujarnya. Haposan beranggapan jika pemkab membatu perjuangan warga maka beragam insiden yang terjadi tidak akan berujung tragis.“Matipun kami sudah siap,tanah kami warisan leluhur kami, jati diri kami.

Negara harus tahu tentang itu,” katanya Warga sendiri sudah menyatakan tidak akan percaya lagi pada janji pemkab yang hanya mengulur-ngulur persoalan saja. Sementara kemarin,masyarakat adat masih turun ke jalan, namun situasi tetap kondusif. Sejumlah kaum pria masih terlihat berjaga-jaga di sepanjang jalan menyusul belum adanya kepastian penghentian pemeriksaan terhadap kedelapan warga.

Pada hari ketiga tidak terlihat lagi kaum ibu dan anakanak yang turun ke jalan membawa benda tajam dan balok kayu. “Kami tetap siaga, dan tidak satu orangpun dari Desa Pandumaan dan Sipituhuta bisa dibawa oleh siapapun juga. Kami berbuat atas nama adat dan akan melindungi kami dari siapapun juga,”kata Haposan. Sementara itu, adanya tiga karyawan PT TPL yang sempat diamankan warga sudah dikembalikan ke Polres Humbahas di dampingi Camat Pollung dan Kapolsek Pollung.

Humas dan Keprotokolan Pemkab Humbahas, Osbornd Siahaan mengatakan bahwa pemkab tidak pernah menutup mata untuk kasus di Kecamatan Pollung. Namun harus dipahami, kata dia, pemkab berusaha memberikan solusi terbaik dalam penyelesaian konflik yang sudah memasuki tahun ke empat ini. “Kami tidak pernah tutup mata, dan kita ikut berjuang bersama warga. Namun perjuangan inikan tidak semudah yang kita pikirkan,”katanya.

Sementara untuk insiden yang terjadi pada dua hari terakhir, pemkab juga telah meminta aparatnya mulai dari camat hingga kepala desa untuk memonitor situasi dan mendekati warga agar tetap tenang “Tidak sekalipun kami membiarkan warga kami. Kami tetap berusaha mencari jalan terbaik,”ujarnya. Osbornd menjanjikan setelah data dan infomasi sudah terkumpul lengkap, maka pejabat terkait akan memberikan keterangan. Camat Pollung, Paiman Purba menambahkan, sejauh ini pihaknya sudah memberikan laporan kepada asisten pemerintahan pemkab.

Sumber :Baringin Lumban Gaol  ( Wartawan Seputar Indonesia)

Kamis, 11 Oktober 2012

Tiga Pekerja TPL Digiring ke Desa

DOLOKSANGGUL– Warga Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan (Humbahas) memboyong tiga pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL) dari kawasan hutan kemenyan milik masyarakat adat ke Desa Pandumaan. Ketiga pekerja itu diamankan warga untuk membuktikan masih adanya aktivitas perusahaan yang dahulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) tersebut di lahan yang masih menjadi sengketa.

Namun, ketiga pekerja ini diperlakukan dengan baik oleh warga. Meski demikian, hingga tadi malam,situasi di kedua desa tersebut masih mencekam dan ribuan warga berjaga-jaga di dua jalan masuk menuju desa mereka, lengkap dengan parang, kayu balok dan bendabenda lainnya.Mereka memeriksa setiap warga tak dikenal yang datang untuk mencegah masuknya penyusup yang akan menangkap delapan warga mereka, seperti yang dikehendaki Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Humbahas Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Heri Sulismono. 

Selain itu,warga juga masuk ke hutan kemenyan untuk memastikan bahwa lahan yang mereka olah selama ini tetap dalam kondisi aman. Saat itulah, sekitar pukul 12.00 WIB,menemukan ketiga pekerja sedang duduk di tenda di Pasar VIII. Di kawasan Tombak (sebutan warga untuk hutan kemenyan yang menjadi sengketa) ditemukan pula ekskavator, persisnya di sebuah jembatan. Melihat warga datang, para pekerja yang diperkirakan 30 orang lari mendekati ekskavator. 

Namun, dicegah warga karena kedatangan mereka dengan niat baik. Selanjutnya perwakilan masyarakat mengingatkan para pekerja dan pihak keamanan PT TPL untuk tidak melakukan aktivitas lagi karena lahan tersebut sedang dalam masalah.Lalu ketigapekerjadiajakuntukikut bersama warga sebagai bukti bahwa adanya aktivitas di lahan sengketa.Satu di antara pekerja adalah Staf Humas PT TPL Sektor Tele Pius Butarbutar. 

”Ketiganya dalam kondisi baik,dan tidak ada unsur kekerasan dalam tindakan pengamanan ketiga pekerja PT TPL tersebut. Sebab, kami mengamankan hanya untuk membuktikan bahwa TPL masih menjalankan aktivitasnya di hutan kemenyan,”kata seorang warga bermarga Marbun. Pius Butarbutar mengatakan, dia dibawa warga bersama dua rekan kerjanya,yakni HendraSiraitdanHerwandiSitorus. 

Mereka menyanggupi permintaan warga untuk ikut ke perkampungan. ”Kami dilayani warga dengan baik. Kami yang bersedia untuk ikut,” paparnya. Dia mengungkapkan, aktivitas mereka di lokasi RD 4-118 untuk mengevakuasi alat berat yang rusak akibat insiden 19 September lalu. Dalam proses evakuasi,truk yang akan mengangkat ekskavator terperosok sehingga harus menggunakan alat berat lainnya untuk mendorong truk. 

”Jadi, kami melakukan evakuasi di sana, dan warga mengajak kami ke perkampungan,” ujarnya. Selama diamankan warga, Pius mengaku diperlakukan dengan baik. Bahkan, mereka diberikan makan dan minum. Warga juga meminta mereka untuk tidak melakukan segala aktivitas di lahan tersebut.”Saya (bekerja) memang masih hitungan bulan di sektor Tele,” katanya. 

Hingga pukul 19.30, ketiga staf PT TPL tersebut masih diamankan warga menunggu proses penyerahan ke kepolisian yang akan dilakukan perwakilan warga. Dalam perbincangan dengan staf PT TPL dengan warga tersebut, penetua adat Pdt Haposan Sinambela mengatakan,ketiga pekerja diharapkan dapat memberikan bukti nyata bahwa warga bukanlah masyarakat yang tidak mengerti hukum.

Diamankannya ketiga staf PT TPL juga didasari bukti bahwa perusahaan yang memproduksi bubur kertas itu tidak menghargai masyarakat adat. ”Kami menjamin mereka akan kembali dengan selama sehat tanpa ada gangguan apa pun,” paparnya. Kapolres Humbahas AKBP Heri Sulismono mengatakan, laporan yang diterimanya,warga akan mengantarkan ketiga staf PT TPL tersebut ke polres. Namun, belum dapat dipastikan waktu penyerahannya. “Kami akan menyambut baik jika dikembalikan secara baikbaik juga,”ujarnya. 

Heri mengaku belum mengetahui solusi konflik berkepanjangan warga dengan PT TPL. Dia masih harus berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah (Polda) Sumut untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian. ”Saya belum bisa pastikan, namun saat ini ada beberapa agenda yang saya bahas di polda dan salah satunya menyangkut kasus PT TPL,”pungkasnya. 

Sumber : Baringin Lumban Gaol  ( Wartawan Seputar Indonesia )

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/534223/37/


Rabu, 10 Oktober 2012

Mencekam, Jalan ke Dua Desa Pandumaan dan Sipituhuta Diblokade

DOLOKSANGGUL –Suasana di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Selasa (9/10) kembali mencekam. Hingga tadi malam,ribuan warga memblokade jalan ke desa mereka untuk mencegah masuknya polisi yang akan mengamankan delapan warga. Massa didominasi kaum ibu, pria lanjut usia dan anak-anak bersiaga di dua jalan masuk menuju desa tersebut.

Mereka mempersenjatai diri dengan parang, kayu balok dan benda keras lainnya sebagai tanda siap menghalau polisi yang datang untuk membawa warga. Selain berjaga-jaga,warga juga membuat portal dan memeriksa setiap kendaraan yang masuk ke desa mereka. Sweeping ini dilakukan guna mengantisipasi adanya penyusup yang masuk. Seorang warga Desa Sipituhuta, Toga Lumban Batu,37,mengatakan, warga desanya dan Desa Pandumaan bersiaga setelah merebaknya kabar bahwa kedelapan warga mereka akan dijemput paksa petugas Kepolisian Resor (Polres) Humbahas. 

Kedelapan warga tersebut akan diperiksa terkait aksi kerusuhan saat berdemo menentang operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) di lahan yang menjadi sengketa, pada Rabu (19/9). Bentrokan pecah di Desa Sipitu Huta hingga mengakibatkan seorang petugas sekuriti PT TPL dan seorang personel Brigade Mobil (Brimob) terluka.Warga juga membakar satu ekskavator serta merampas senjata api personel Brimob tersebut. Polisi pun memanggil kedelapan warga untuk diperiksa sebagai saksi. 

Toga mengungkapkan, situasi desanya kembali memanas setelah adanya kabar bahwa Kepala Polres Humbahas Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Heri Sulismono menghubungi tokoh adat untuk menyerahkan kedelapan warga tersebut. Bahkan,beredar pula kabar di masyarakat bahwa polres akan menjemput paksa dengan mengerahkan personel Brimob. 

Permintaan Heri itu dinilai sebagai bentuk pengingkaran janji yang disampaikannya saat menerima aksi unjuk rasa di Kantor Polres Humbahas, Kamis (27/9) lalu.Warga juga menyatakan sikap untuk bertahan dengan proses adat lebih dahulu. Ini disebabkan insiden yang terjadi karena warga mempertahankan tanah adat. “Sebelumnya kami sudah berupaya untuk menempuh jalurhukumuntukpenuntasankasus sengketa lahan kami dengan PT TPL,namun tidak ada hasil. 

Pemkab Humbahas juga terkesan lambat dalam menuntaskan kasus yang sudah empat tahun berjalan. Karenaitulahkamimemilih untuk melindungi sendiri tanah adat kami,”papar Toga. Dia meminta insiden yang terjadi pada Rabu 19 September 2012 harus dilihat dengan arif.Kondisi itu dipicu adanya sikap yang tidak baik dialami warga saat meminta PT TPL menghentikan aktivitasnya di lahan yang saat ini diusulkan untuk direvisi ke Kementerian Kehutanan.Warga tidak menginginkan kekerasan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum. 

“Pada waktu kami minta dihentikan aktivitas disana petugaskeamananyangmengancam warga. Bahkan, dari informasi aparat Brimob yang bertugas pada waktu yang menantang warga dengan bahasa yang dianggap melecehkan,”imbuhnya. Kepala Polres Humbahas AKBP Heri Sulismono mengatakan, penjemputan paksa memang menjadi pilihan terburuk setelah berbagai upaya mediasi dan etika komunikasi sudah dilakukan. 

Tugas yang dijalankan polisi juga merupakan bagian dari amanah karena dalam kasus tersebut ada yang dicederai dan mengalami kekerasan. “Polisi menjalankan tugas. Kami sudah menempuh berbagai cara sehingga seharusnya kita bekerja sama. Saya heran kenapa hanya dua desa ini yang sulit untuk kita jalin kerja sama,”katanya. Berbagai upaya mediasi melalui pertemuan dengan sejumlah pihak sudah dilakukan, termasuk pertemuan antara perwakilan warga dengan pihak Muspikayangjugadihadirikejaksan dan ketua pengadilan negeri. 

Namun, warga menafsirkan berbeda pertemuan tersebut.“Saya sudah meyarankan agar kedelapan warga yang kami panggil untuk diserahkan. Kemudian kita lakukan konsultasi dengan pihak polda sehingga ada solusi yang baik,”paparnya. Terkait dengan adanya blokade jalan yang dilakukan warga, Heri menilai terlalu berlebihan dan tidak perlu terjadi. Karena polisi melihat dari aspek pidana yang terjadi karena perbuatan warga. 

“Kalau memang berani berbuat ya kami minta juga berani bertanggung jawab,”paparnya. Sementara itu, anggota Komisi A DPRD Sumut Sopar Siburian mengatakan, rencana penangkapan terhadap kedelapan warga tersebut kurang tepat waktunya. Lebih baik kepolisian mengoptimalkan komunikasi yang baik kepada masyarakat. Sebab,metode pendekatan bisa meredam gejolak. “Ini kan persoalan PT TPL mau buka jalan dan rakyat keberatan. 

Masyarakat yang melanggar hukum memang harus tanggung jawab. Kalau masyarakat tidak setuju mengenai rencana penangkapan, pihak kepolisian harus jelaskan alasannya. Kan masyarakat kita sudah pintar-pintar sekarang,” kata politisi asal Partai Demokrat ini. DiamenilaiPT TPLselalumelakukan pola lama,yakni menggunakan aparat dalam hal pembebasan lahan.

Hasilnya,aparat kepolisian dan warga yang jadi korban bentrokan.“Jangan dibenturkan masyarakat dengan kepolisian. Ini kan awalnya dari PT TPL, kenapa jadi warga dengan aparat yang bentrok.Seharusnya pihakperusahaanjuga harus berkomunikasi dengan baik dan duduk bersama dengan warga.Jangan sampai ada keributan,” tandasnya. 

Sumber Baringin Lumban Gaol, Panggabean Hasibuan  (Wartawan Seputar Indonesia)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/533885/37/

Minggu, 07 Oktober 2012

Selamatkan KPK


SEMARANG, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menerima dukungan selamatkan KPK dari sejumlah LSM di Kota Semarang. Dukungan berupa poster bertuliskan 'Save KPK' tersebut diberikan usaiAbraham menjadi pembicara pada dialog tentang peran ulama dan tokoh masyarakat dalam menegakkan konstitusi dan gerakan anti korupsi di Kantor PWNU Jateng di Semarang, Sabtu (6/10/2012).
Sejumlah LSM tersebut antara lain KP2KKN Jateng, LBH Semarang, Pattiro Semarang, LRC KJHAM, The Jateng Institute, GP Ansor Jateng, Komunitas buruh, petani, pedagang, KAMMI, HMI dan sejumlah BEM di Kota Semarang. Dukungan tersebut diterima langsung oleh Ketua KPK Abraham Samad.
Kepala Divisi Monitoring Penegak Hukum KP2KKN Jateng Eko Haryanto mengatakan sejumlah LSM tersebut menamakan dirinya Cicak yang berarti Cinta Indonesia Cinta KPK Jawa Tengah. Dukungan diberikan agar KPK tetap kuat dalam melawan korupsi serta sejumlah upaya pelemahan yang dilakukan pihak lain.
Eko mengatakan Cicak Jawa Tengah juga menolak dan meminta DPR menghentikan revisi UU KPK, mengajak masyarakat Indonesia khususnya di Jawa Tengah menolak dan melawan segala bentuk pelemahan KPK dan mendukung penuntasan kasus yang ditangani KPK baik kasus simulator SIM serta kasus lainnya.
"Kami juga mengutuk keras tindakan penjemputan paksa penyidik Polri yang bertugas di KPK oleh Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya," tandasnya.
Eko mengatakan KPK menjadi harapan besar masyarakat dalam memberantas korupsi di negeri ini. Sebab kepolisian maupun kejaksaan terbukti tidak cukup efektif dan sangat lamban dalam menangani kasus korupsi. "Kami yakin seluruh masyarakat juga mendukung KPK, negeri ini membutuhkan lembaga yang mampu menangani kasus korupsi secara progresif dan independen, dan KPK menjadi harapan kita semua," tambahnya.
Sementara itu Ketua KPK Abraham Samad ketika menjadi pembicara mengatakan jika memang DPR akan melakukan revisi UU KPK terkait penyadapan dan lainnya, dirinya memilih untuk mengundurkan diri. Selain itu jika upaya revisi tidak dihentikan, ia juga akan meminta KPK untuk dibubarkan saja.
"Kalau memang UU itu akan direvisi, berarti sudah tidak ada niatan untuk memberantas korupsi," tandasnya.
Meski begitu ia tetap meminta agar UU tersebut tidak jadi direvisi sehingga pemberantasan korupsi tetap dijalankan. Sebab menurutnya kejahatan korupsi di negeri ini sudah luar biasa sehingga harus dihadapi dengan cara yang luar biasa.

Editor :
A. Wisnubrata

Kamis, 04 Oktober 2012

Nirwana Trio akan Launching Album Bahasa Indonesia


JAKARTA - Awal karier Nirwana Trio,terbentuk pada tgl 01 Maret  2006, Trio yang berasal dari Dolok Sanggul Humbang Hasundutan ini hadir dengan kualitas yang berbeda dan tentu dengan lagu lagu yang dibawakan nya selalu digemari anak muda juga orang tua khususnya orang Batak.Tidak perlu diragukan lagi kualitas dengan perpaduan harmoni suara dan irama yang menguatkan khas mereka hingga bisa bertahan hingga saat ini.

Dimulai dengan album kompilasi Perados grup pada bulan Mei 2006 langsung para penikmat musik Batak menaruh hati kepada mereka , dan pada 2007 Nirwana Trio kembali mengeluarkan album Vol 1 dengan single hits  Anak panggoran,Alusia,Mulak maho dan Soada tudosanmu.

Adapun personel Nirwana Trio adalah Pudan Sitorus ,Rinto Situmorang dan Anjur Munthe

Kembali pada tahun 2008,Nirwana mengeluarkan Album kompilasi, 10 pemenang dan pencipta terbaik dari New Hunter, dengan single hits New Hunter yang dinyanyikan Nirwana Trio.Tentu hits ini terkenal di lingkungan orang Batak.

Dan pada tahun 2009 ,kembali Nirwana Trio mengeluarkan album Vol 2,album fantastik,dengan lagu lagunya,Haholongi ma sidoli,Marrokkap dung matua,dll.
Tahun 2012 Nirwana Trio mengeluarkan album Bahasa Indonesia tentu dengan WARNA yang berbeda, penasaran? Tunggu yah..:D

Selasa, 02 Oktober 2012

Pernados kembali merayakan natal dengan konsep kolosal batak


Jakarta - Persatuan Naposo Bulung Dolok Sanggul Sekitarnya ( Pernados) yang bermarkas di wilayah  UKI – Cawang  Jakarta Timur sudah mulai disibukkan dengan rutinitas latihan natal 2012 yang nantinya akan di selenggarakan di Gedung Mulia Raja – Jakarta Timur.Menurut BPH Pernados 2011 -2013 Andris Hendrayadi Simanullang menuturkan bahwa pembentukan panitia natal untuk tahun ini telah dilakukan bulan agustus lalu yang di ketuai oleh Agus Safran Simatupang.

Berdasarkan pantauan, ternyata antusiasisme dan semangat para pernadoser cukup tinggi untuk mengikuti latihan natal yang dilaksanakan setiap minggu di fakultas ekonomi –UKI ini.Dan yang membuat organisasi ini semakin berbeda dari organisasi lain dari bona pasogit adalah selalu menjadi yang pertama ,terlihat dari banyaknya organisasi dari bona pasogit hanya Pernados yang sudah membentuk kepanitiaan natal.

Adapun konsep acara yang akan di tampilkan nantinya adalah konsep kolosal budaya Batak ,menurut penuturan dari koordinator acara Inatasari Lumban Gaol dkk ,ini konsep sebagai bentuk apresiasi dan pelestarian budaya Batak yang merupakan citra diri sebagai suku Batak. Dan Tema yang di usung di kutip dari Yohannes 3 : 16 “ Kasih itu Nyata” dan sub tema “ Terima KasihNya , sebarkan berkatNya”.

Tentu perayaan ini nantinya akan semakin menarik dan dapat membawa berkat untuk masyarakat Dolok Sanggul sekitarnya. Perayaan ini nantinya akan menampilkan berbagai ritual natal ,drama musikal ,tor tor ,dan tentunya akan dimeriahkan oleh artis artis ibukota dan bona pasogit.Pernados Choir pun tidak mau ketinggalan menampilkan kemampuanya, sehingga merekapun kerja keras untuk menampilkan yang terbaik dengan bimbingan dari abang Sahata Sihombing dan Monang Simanullang.

Natal akbar ini nantinya akan di selenggaran di gedung Mulia dan Raja , minggu 08 Desember  2012.Panitia natal sangat membutuhkan dukungan doa agar perayaan ini dapat berjalan dengan baik.

Bukan rahasia lagi bahwa Pernados banyak kegiatan mulai dari kompetisi sepak bola , futsal, perayaan hari kemerdekaan , paskah , ibadah bulanan , bahkan kegiatan kegiatan sosial. Semuanya itu tercipta karena kesatuan dan semangat  naposo Pernados .(AmanLumbanGaol)


Pernados itu Kasih , Cinta dan Solidaritas !

Sabtu, 29 September 2012

Warga Pollung kehilangan mata pencaharian


HUMBAHAS- Ratusan warga di Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas kehilangan mata pencarian mereka dari pertanian kemenyan setelah kehadiran pabrik pulp (bubur kertas) PT Toba Pulp Lestari (TPL). “Sekitar 450 hektare hutan telah dirusak PT TPL dan 6.100 hektare hutan kebun kemenyan milik masyarakat telah dirampas melalui izin rencana kerja tahunan (RKT) dari pemerintah pusat melalui menteri kehutanan,” ujar Kepala Desa Pandumaan, Budi Lumbanbatu (45) dalam sebuah pertemuan dengan jemaat GBKP Karo dan Deliserdang di Gereja GKPI Pandumaan, Sabtu (1/9).
Dikatakannya, dengan tameng perluasan area, TPL telah ‘menyita’ tanah warisan nenek moyang masyarakat petani kemenyan di kedua desa tersebut. Padahal, lahan kemenyan warga telah diusahai secara turun terumurun sejak ratusan tahun silam dan menjadi salah satu sumber mata pencarian warga selama ini. “Kami sangat merugi dengan keberadaan TPL di Humbahas. Bayangkan, sebelumnya warga dapat panen berlimpah dari pohon kemenyaan, sekarang ratusan kepala keluarga (KK) menganggur akibat pohon kemenyan yang sudah musnah akibat perlakuan TPL yang menghabisi pohon pelindung kemenyan di sekitar tanaman eukaliptus mereka (TPL, red),” terang budi.
Masyarakat Kecamatan Pollung sendiri sudah berkali-kali melakukan perlawanan terhadap TPL dengan melakukan demonstrasi maupun mendatangi pemda setempat serta DPRD mengenai penyerobotan hak wulayat adat masyarakat, hingga kini penyelesaian sengketa lahan warga dengan TPL belum juga tuntas. “Beberapa kali warga dan perantau mendatangi dan melakukan unjuk rasa kepada pihak dewan terhormat agar menolak kehadiran perusak tatanan kehidupan masyarakat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta. Tapi hasil perjuangan kami sampai saat ini belum ada,” sambung Karsie Sihite (50) salah seorang warga Desa Pandumaan.
Diterangkanya, warga Pandumaan dan Sipitu Huta telah mengalami kehilangan mata pencarian sejak tahun 2008. Dimana sejak tahun itu, perluasan rencana kerja tahunan (RKT) TPL semakin merajalela. “Beberapa hal sudah kami lakukan, termasuk para perantau dari kedua desa ini sudah ikut untuk menghentikan liberalisme yang dipraktikkan perusahaan raksasa itu (TPL, red), tapi Menteri Kehutanan sampai sekarang belum memberi tanggapan,” ujarnya.
James Sinambela (53) salah seorang Ketua Kelompok Petani Kemenyan Pollung mengungkapkan, masyarakat di Desa Pandumaan dan Sipitu Huta kini semakin kesulitan untuk menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak. “Uang sekolah anak kami dulunya rata-rata dari hasil penjualan kemenyan. Tapi sejak kehadiran TPL, masyarakat kini semakin menderita. Karena secara perlahan, TPL terus merusak pohon kemenyan di area sengketa,” papar James. Ia menegaskan, kehadiran PT TPL hanya membawa bencana, serta mengancam kelangsungan hidup ekosistem hutan.
“Eukaliptus itu tanaman pohon egois, tidak bersahabat, banyak menyedot humus, tanah dan air di sekitarnya, sehingga rentan menimbulkan anak-anak sungai tidak berfungsi,” terangnya. Sementara itu, Jannus Lumban Batu tokoh masyarakat mengatakan, PT TPL telah menyerobot tanah adat warisan nenek moyang warga di Kecamatan Pollung dengan dalih memperoleh izin HPH dari Menteri Kehutanan.
“Kemenyan yang merupakan tanaman primadona dan menjadi andalan mata pencarian warga Pollung kini sudah mulai habis. Masyarakat sebenarnya tidak merelakan tanah yang ditumbuhi pohon kemenyan dirusak dengan berbagai eksistensi penebangan PT TPL dengan dalih RKT. Tapi, kekuatan TPL hingga kini masih mengalahkan kami,” ungkapnya Yang paling menyedihkan lagi, sambung Jannus, PT TPL juga membuka ruas jalan di atas lahan milik masyarakat dan melakukan perkerasan dengan limbah boiler berbentuk abu hitam dari buangan pengelolaan kayu milik TPL yang ada di Porsea.
“Pekerjaan PT TPL tersebut dirasakan sangat menyiksa masyarakat, secara perlahan dan secara nyata telah merusak tatanan kehidupan masyarakat,” ketus Jannus. Dengan kondisi tersebut, warga Pandumaan dan Sipitu Huta tersebut berharap agar DPR, DPRD Sumut dan pemerintah segera menyikapi dan menanggapi keluhan masyarakat di Kecamatan Pollung.
Humas PT TPL Lambertus Siregar saat dihubungi METRO, Senin (3/9) melalui ponselnya mengatakan, terkait tanaman kemenyan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan pemda setempat, DPRD serta warga. “Saat pertemuan itu, kita sudah setujui siap menyediakan pohon kemenyan di 7.000 hektare area HPH PT TPL yang ada di Kecamatan Pollung, bahkan sudah ada pelatihan-pelatihan petani kemenyan terhadap warga di sana kita fasilitasi,” kata Lambertus.
Ia juga membantah bahwa PT TPL telah merampas lahan warga di Kecamatan Pollung untuk pembukaan akses jalan ke area konsesi. “Kalau memakai lahan warga untuk membuka akses jalan ke area kita itu tidak ada. Justru warga yang sering memakai jalan yang kita buka untuk akses ke lahan pertanian mereka,” pungkasnya. (jona/hsl)

Berjuang untuk Haminjon


DOLOK SANGGUL - Lima ratusan warga Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, melakukan aksi demo ke Mapolres Humbang Hasundutan, Kamis (27/9). Mereka menolak pemanggilan 8 warga dari Desa Pandumaan sebagai saksi bentrok fisik di Tombak Sitangi, Desa Sipitu Huta.
Di mana dalam bentrok itu, warga berhadapan dengan salah seorang anggota Brimob Briptu Hotbastian Simamora dan seorang security perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari Tbk Frengky Hutagaol, Rabu (19/9) pukul 10.00 WIB.
“Warga, hanya mempertahankan tanah ulayat milik bersama masyarakat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta dari pembabatan hutan yang dilakukan TPL. Jika itu tetap berlanjut, kami tidak akan dapat makan dan tidak mampu menyekolahkan anak-anak kami lagi,” ujar Haposan Sinambela saat aksi berlangsung.
Dia menjelaskan, warga kedua desa tersebut sama sekali tidak ingin bentrok dengan aparat kepolisian, apalagi Brimob yang bertugas. “Tapi sudah 4 tahun kami memperjuangkan tanah warisan ini melalui demo dan kesepakatan bersama mengusulkan revisi lahan warga dari cengkeraman TPL. Tapi TPL tetap membuka areal dengan memperluas lahan yang sudah ditanami pohon kemenyaan oleh warga. Jadi, kami sebenarnya menganggap TPL sebagai musuh kami,” tandas Sinambela.
Dikatakannya, melalui rapat antara Uspida Humbahas, PT TPL dan warga Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, telah menghasilkan kesepakatan untuk tidak ada lagi aktivitas penebangan pohon di hutan kemenyan warga oleh pihak TPL. ”Artinya, kesepakatan di lokasi sengketa itu adalah stanvas. Tapi justru TPL ingkar atas kesepakatan itu,” imbuhnya.
Massa yang sempat bersitegang dengan aparat kepolisian, mengancam akan terus melakukan demo ke Mapolres Humbahas jika pemanggilan terhadap 8 warga tetap dilakukan. “Kami tidak mengerti hukum, kami hanya tau tanah warisan nenek moyang kami hendak dirampas oleh TPL, sehingga kami berusaha mempertahankan tanah leluhur kami dari penggerogotan pihak PT TPL. Kami akan selalu mempertahankan tanah warisan nenek moyang kami, sampai revisi SK 44/Menhut-II/2005 dan tata batas konsesi PT TPL di sektor Tele dikeluarkan Menteri Kehutanan RI,” ujar Karsi Sihite, warga Desa Pandumaan.
Tuntutan Warga Disetujui
Aksi demo yang berlangsung lebih dari satu jam di Mapolres Humbahas, disambut langsung oleh Kapolres Humbahas AKBP Heri Sulismono. Kehadiran massa, sempat memacetkan jalur lalu lintas Dolok Sanggul-Siborongborong. Setelah menyampaikan tuntutan, pihak Polres Humbahas dan perwakilan massa akhirnya menyepakati ke-8 warga dimaksud tidak jadi dipanggil dan akan melakukan musyawarah bersama melalui pertemuan dengan Uspida Plus serta pihak PT TPL guna mencari solusi penyelesaian konflik. Setelah adanya kesepakatan tersebut, massa pun akhirnya membubarkan diri dengan tertib.
Amatan METRO, peserta aksi di dominasi kaum ibu, pelajar bahkan Balita. Tanpa ragu-ragu, sejumlah anak yang masih berstatus pelajar turut serta membawa poster penolakan pemanggilan 8 warga dari Desa Pandumaan sekaitan penyerangan ratusan warga ke area pembukaan jalan baru area konflik konsesi PT TPL tanggal 19 September lalu, hingga berujung pada penganiayaan warga terhadap Briptu Hotbastian Simamora dan Frengky Hutagaol, serta membakar satu unit alat berat jenis excavator yang ada di lokasi bentrokan.
Ke mana Lagi Petani Mengadu?
Menanggapi konflik agraria tersebut, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Kusnadi, kepada METRO, Kamis (27/9) mengatakan, bahwa konflik agraria di Sumatera Utara khususnya antara warga di Kecamatan Pollung dengan pihak PT TPL merupakan sebuah kepentingan pragmatis dan cenderung menguntungkan pemegang modal.
“Mental serakah untuk merebut tanah rakyat dan perampas hasil bumi rakyat saat ini telah bermetamorfosa. Berbagai payung hukum tentang agraria hanyalah aturan yang digunakan untuk menindas dan mendinginkan riak perlawanan rakyat,”ujar Kusnadi.
Para korporasi dan spekulan tanah menjadikan tanah komoditi dagang dan bisnis sepihak. Sehingga, petani dan orang miskin secara perlahan tapi pasti akan digusur. Hak masyarakat adat juga digusur dan mengikis pengakuan hokum adat.”Jika sudah hokum adat, tanah ulayat dan hak rayta miskin atau petani juga sudah tidak diakui, kemana lagi petani akan mengadu..?maka perlawanan akan terjadi dan menimbulkan masalah baru,”imbuh Kusnadi. (jona/hsl)