Sabtu, 29 September 2012

Berjuang untuk Haminjon


DOLOK SANGGUL - Lima ratusan warga Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, melakukan aksi demo ke Mapolres Humbang Hasundutan, Kamis (27/9). Mereka menolak pemanggilan 8 warga dari Desa Pandumaan sebagai saksi bentrok fisik di Tombak Sitangi, Desa Sipitu Huta.
Di mana dalam bentrok itu, warga berhadapan dengan salah seorang anggota Brimob Briptu Hotbastian Simamora dan seorang security perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari Tbk Frengky Hutagaol, Rabu (19/9) pukul 10.00 WIB.
“Warga, hanya mempertahankan tanah ulayat milik bersama masyarakat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta dari pembabatan hutan yang dilakukan TPL. Jika itu tetap berlanjut, kami tidak akan dapat makan dan tidak mampu menyekolahkan anak-anak kami lagi,” ujar Haposan Sinambela saat aksi berlangsung.
Dia menjelaskan, warga kedua desa tersebut sama sekali tidak ingin bentrok dengan aparat kepolisian, apalagi Brimob yang bertugas. “Tapi sudah 4 tahun kami memperjuangkan tanah warisan ini melalui demo dan kesepakatan bersama mengusulkan revisi lahan warga dari cengkeraman TPL. Tapi TPL tetap membuka areal dengan memperluas lahan yang sudah ditanami pohon kemenyaan oleh warga. Jadi, kami sebenarnya menganggap TPL sebagai musuh kami,” tandas Sinambela.
Dikatakannya, melalui rapat antara Uspida Humbahas, PT TPL dan warga Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, telah menghasilkan kesepakatan untuk tidak ada lagi aktivitas penebangan pohon di hutan kemenyan warga oleh pihak TPL. ”Artinya, kesepakatan di lokasi sengketa itu adalah stanvas. Tapi justru TPL ingkar atas kesepakatan itu,” imbuhnya.
Massa yang sempat bersitegang dengan aparat kepolisian, mengancam akan terus melakukan demo ke Mapolres Humbahas jika pemanggilan terhadap 8 warga tetap dilakukan. “Kami tidak mengerti hukum, kami hanya tau tanah warisan nenek moyang kami hendak dirampas oleh TPL, sehingga kami berusaha mempertahankan tanah leluhur kami dari penggerogotan pihak PT TPL. Kami akan selalu mempertahankan tanah warisan nenek moyang kami, sampai revisi SK 44/Menhut-II/2005 dan tata batas konsesi PT TPL di sektor Tele dikeluarkan Menteri Kehutanan RI,” ujar Karsi Sihite, warga Desa Pandumaan.
Tuntutan Warga Disetujui
Aksi demo yang berlangsung lebih dari satu jam di Mapolres Humbahas, disambut langsung oleh Kapolres Humbahas AKBP Heri Sulismono. Kehadiran massa, sempat memacetkan jalur lalu lintas Dolok Sanggul-Siborongborong. Setelah menyampaikan tuntutan, pihak Polres Humbahas dan perwakilan massa akhirnya menyepakati ke-8 warga dimaksud tidak jadi dipanggil dan akan melakukan musyawarah bersama melalui pertemuan dengan Uspida Plus serta pihak PT TPL guna mencari solusi penyelesaian konflik. Setelah adanya kesepakatan tersebut, massa pun akhirnya membubarkan diri dengan tertib.
Amatan METRO, peserta aksi di dominasi kaum ibu, pelajar bahkan Balita. Tanpa ragu-ragu, sejumlah anak yang masih berstatus pelajar turut serta membawa poster penolakan pemanggilan 8 warga dari Desa Pandumaan sekaitan penyerangan ratusan warga ke area pembukaan jalan baru area konflik konsesi PT TPL tanggal 19 September lalu, hingga berujung pada penganiayaan warga terhadap Briptu Hotbastian Simamora dan Frengky Hutagaol, serta membakar satu unit alat berat jenis excavator yang ada di lokasi bentrokan.
Ke mana Lagi Petani Mengadu?
Menanggapi konflik agraria tersebut, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Kusnadi, kepada METRO, Kamis (27/9) mengatakan, bahwa konflik agraria di Sumatera Utara khususnya antara warga di Kecamatan Pollung dengan pihak PT TPL merupakan sebuah kepentingan pragmatis dan cenderung menguntungkan pemegang modal.
“Mental serakah untuk merebut tanah rakyat dan perampas hasil bumi rakyat saat ini telah bermetamorfosa. Berbagai payung hukum tentang agraria hanyalah aturan yang digunakan untuk menindas dan mendinginkan riak perlawanan rakyat,”ujar Kusnadi.
Para korporasi dan spekulan tanah menjadikan tanah komoditi dagang dan bisnis sepihak. Sehingga, petani dan orang miskin secara perlahan tapi pasti akan digusur. Hak masyarakat adat juga digusur dan mengikis pengakuan hokum adat.”Jika sudah hokum adat, tanah ulayat dan hak rayta miskin atau petani juga sudah tidak diakui, kemana lagi petani akan mengadu..?maka perlawanan akan terjadi dan menimbulkan masalah baru,”imbuh Kusnadi. (jona/hsl)

0 komentar:

Posting Komentar