Selasa, 09 April 2013

Koalisi Masyarakat Sipil dalam Publik Review, Komisi IV, Panja DPR, menolak pengesahan RUU P2H


Jakarta ; Koalisi Masyarakat Sipil menyurati Pramono Anung, Fraksi PDI P, terkait sikap penolakan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Perusak Hutan atau UU P2H. Koalisi Masyarakat Sipil mempertanyakan motivasi danalasan Panja DPR Komisi IV menggulirkan pembahasan UU P2H?,  mengapa tidak memperkuat Undang-Undang 41 mengenai kehutanan saja?
Rahma Mary, Koordinator Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik Perkumpulan HuMa, mengatakan baru mendengar desas-desus adanya RUU P2H dan mendapat draf RUU P2H dua minggu sebelum pertemuan berlangsung. Koalisi Masyarakat Sipil menyampaikan penolakan terhadap pengesahan RUU itu dan meminta anggota DPR menghentikan pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Karena ternyata baik dari sisi formal maupun material sangat tidak layak untuk disahkan. Rahma juga memancarkan kutipan dari Prof Hariadi, Ibu Sinta (Universitas Andalas) dan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Yang pertama;, “banyak pengertian dan pasal-pasal RUU P2H ini  yang harus diperbaiki. Jika tidak diperbaiki maka tujuan regulasi ini tidak tercapai dan masyarakat akan menjadi korban dari regulasi ini. Saat ini yang lebih dibutuhkan masyarakat kehutanan adalah revisi Undang-Undang Kehutanan , bukan RUU P2H,” dari Prof Hariadi Kartodiharjo.
Kemudian Ibu Sinta, dosen Universitas Andalas menyatakan bahwa. “pasal-pasal yang mengatur tindak pidana di dalam rancangan udang-undang tersebut, tidak memperlihatkan sistematika pembagian atau pengelompokan yang jelas. Tidak memperhatikan pertimbangan yang matang akan pemilihan sanksi pidana. Bahkan terdapat pengaturan ganda atas satu perbuatan dalam beberapa pasal. Muncul banyak kerancuan aturan tentang penyidik PNS dan kewenangannya serta keberadaan lembaga baru.  Yang terakhir dari Sekjen AMAN berpendapat  bahwa,” RUU ini membahayakan masyarakat adat”.
Pemerintah telah salah mendiaknosis penyebab kerusakan hutan. Pemerintah gagal melakukan legalisasi penetapan kawasan hutan, pemerintah juga tidak mampu mengatasi kejahatan di bidang kehutanan itu sendiri,” papar Rahma.
Haposan Sinambela, petani kemenyan dari komunitas adat Pandumaan-Sipitu huta, menyampaikan pengalamannya sebagai masyarakat adat, bahwa hutan kemenyan yang mereka warisi sudah 13 generasi atau lebih dari 300-an tahun, kenapa lagi dikasih izin sama perusahaan.  Mengapa  mempertahankan hak saya, mempertahankan lingkungan hidup warisan leluhur dijerat pasal 160, provokasi?, itulah pasal yang dibuat menangkap saya di Polda Sumatera-Utara, papar Sinambela.
Dewan Kehutanan Nasional (DKN), Martua Sirait mengatakan, mengingatkan kembali bahwa kawasan hutan kita yang telah ditunjuk itu, terdapat 30.000-an desa di dalamnya yang belum jelas statusnya. Sehingga definisi-definisi yang digunakan akan sangat berbahaya untuk mengkriminalkan masyarakat. Sedangkan dari 120 juta-an hektar kawasan hutan yang ditunjuk, baru 16 % yang selesai pengukuhannya.
Padahal izin-izin yang diterbitkan, boleh dikatakan izin yang legal itu, tumpang tindih dengan desa-desa yang ada. Pengalaman Sinambela tadi, banyak sekali dialami oleh bapak-bapak dan ibu-ibu kita di daerah. Sementara hal seperti itu belum diselesaikan, pada saat yang sama RUU P2H akan mengatur kembali semuanya, tanpa menyelesaikan akar masalahnya, yaitu kepastian dari kawasan hutan.
Erasmus Cahyadi (AMAN) mengutarakan, bahwa RUU P2H sama sekali keluar dari kerangka reformasi hukum sektor kehutanan. Kita masih memiliki Ketetapan MPR No. IX/2001, mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam kacamata seperti itu bahwa hukum apapun yang dihasilkan, dalam konteks reformasi hukum di sektor kehutanan, adalah:
Yang  pertama adalah, hukum-hukum mesti mempertegas status kuasa atas kawasan hutan. Ke-dua; mesti merupakan koreksi terhadap peraturan-peraturan di sektor kehutanan yang selama ini terbukti tidak pro terhadap keadilan masyarakat. Dalam konteks itu saya hanya mau menyatakan bahwa, rancangan undang-undang ini sebenarnya keluar dari kerangka reformasi hukum.  Pertama; karena rancangan undang-undang ini masih memahami kawasan hutan sebelum dikoreksi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011.
Ke-dua; rancangan undang-undang ini sepertinya berjalan sendiri, dalam koridornya sendiri dan sama sekali imun dengan informasi-informasi reformasi hukum yang sedang berkembang di luar.   Kita sama-sama tahu bahwa saat ini sudah ada revisi undang-undang kehutanan.
Kalau dipermasalahkan bahwa rancangan undang-undang ini hendak menyasar aspek penegakan hukum, kenapa bukan revisi undang-undang kehutanan saja, dengan memasukkan aspek penegakan hukum yang lebih solid dalam revisi itu?.
Yang terakhir; karena kuasa atas kawasan itu tidak jelas, maka RUU ini potensial melanggar hak-hak asasi masyarakat, termasuk hak atas kawasan hutan. Kita tahu saat ini bahwa,” hutan adat untuk masyarakat adat itu, masih diletakkan sebagai bagian dari hutan negara. Itu yang beberapa waktu yang lalu, kami perkarakan di Mahkamah Konstitusi dan sampai saat ini belum keluar putusannya., “Kami menginginkan, bahwa rancangan undang-undang apapapun yang berkaitan dengan sektor kehutanan ini, mesti dibuat ketika tata kuasa atas kawasan hutan itu sudah jelas,” pungkas Erasmus.
Panja DPR melalui Ketua Sidang mengakui, mengaku bahwa pada mulanya inisiatif didasari oleh RUU P3L (pembalakan hutan)  yang telah kandas itu, kemudian muncul inisiatif RUU P2H (pemberantasan perusakan hutan). “Semangat dari RUU P2H ini intinya adalah menjaga kelestarian hutan, melalui pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara masif dan terorganisir-oleh korporasi,”. Menjaring perusak hutan dari aktor intelektual, pemodal sampai para pelaku di lapangan. Jadi pertemuan ini sifatnya audiensi sebagai catatan perubahan terhadap pasal-pasal yang memang perlu dirubah. “Bahwa RUU P2H pasti akan segera disahkan,  tidak bisa ditunda lagi,” kata  Ketua Sidang, Firman Subagyo (Golkar) yang diamini; Jelantik (Gerindra), Herman Khairon (Demokrat). Sementara Ian Siagian (PDI P) meminta pengesahan undang-undang tersebut ditunda.
Sandra Moniaga menyampaikan pokok pikiran Komnas-Ham, mencermati kerja Komisi IV dalam pembahasan RUU Pemberantasan-Perusakan hutan. Komnas-Ham berpandangan bahwa pengaturan tentang kehutanan dan sumber daya alam lainnya, telah dan berpotensi berdampak pada kondisi asasi masyarakat yang hidup dari dan di dalam kawasan hutan, maupun sumber daya alam lainnya. Kita semua tahu bahwa permasalahan hutan telah diatur melalui Undang-Undang Kehutanan no 41 tahun 1999. Undang-undang ini merupakan yang mengatur secara umum tentang kebijakan kelola hutan di Indonesia.
Ruang lingkup tata kelola hutan yang diatur dalamundang-undang kehutanan masih terbatas tentang macam-macam status hutan yang ada di Indonesia dan kebijakan konservasinya. Sehingga dalam hal ini pemerintah masih memerlukan perangkat aturan lai yang mengatur khusus tentang penanganan masalah hutan, terutama pembalakan liar yang belum tuntas ditangani.  Dengan perumusan RUU P2H ini, nampaknya pemerintah hendak mengatur permasalahan perusakan hutan secara lebih luas, tidak terbatas pada permasalahan pembalakan liar.
Komnas-Ham memahami, bahwa puluhan juta masyarakat hidup tergantung dari sumber daya hutan. Data dari kementerian Kehutanan dan BPS menunjukan terdapat 31.957 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. 71,6  % dari desa tersebut menggantungkan hidup dari sumber daya hutan,” papar Komissioner Komnas-Ham, Sandra Moniaga.***
Sumber :

Rabu, 03 April 2013

16 Warga Pandumaan-Sipituhuta Beralih Status Menjadi Tahanan Luar


Medan,Pandumaanews : 16 warga Pandumaan dan Sipituhuta yang ditahan di Mapolda Sumatera Utara sejak 26 Februari 2013, akhirnya dikeluarkan pada 11 Maret 2013 dengan status tahanan luar dan wajib lapor sekali seminggu. Tuduhan yang dikenakan kepada warga, yakni pasal 170 KUHP (15 orang); pasal 160 KUHP (1 orang/Pdt.Haposan Sinambela).
Sebelumnya, ada 31 warga yang ditangkap aparat (Brimob) secara paksa karena berupaya melarang pekerja PT Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) melakukan aktifitas penebangan, penanaman, dan pemupukan di areal Tombak Haminjon (hutan kemenyan), wilayah adat yang sudah mereka miliki secara turun temurun selama 13 generasi dan merupakan sumber mata pencaharian utama mereka.
Atas desakan warga dan desakan berbagai jaringan, pada malam harinya 15 warga dibebaskan. Namun 16 orang dibawa ke Mapolda Sumatera Utara (sekitar 280 km, 7 jam perjalanan dengan mobil).
Atas pemindahan 16 warga ini, maka pada 5 Maret 2013, warga dua desa bersama berbagai elemen jaringan melakukan demonstrasi serentak, yakni: (1) di Kantor Bupati Humbang Hasundutan; (2) di Mapolda Sumatera Utara; (3) di Kementerian Kehutanan (Jakarta). Ketiga aksi ini menuntut pembebasan 16 warga dan adanya pengakuan tanah adat dengan mengeluarkan areal tersebut dari konsesi TPL dan kawasan hutan negara.
Di samping ketiga aksi tersebut, kecaman keras datang dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang juga menggalang berbagai dukungan baik dari tingkat nasional, regional, maupun internasional dan menyurati pihak-pihak terkait seperti: Kapolri, Dewan Kehutanan Nasional, Menteri Kehutanan, KomnasHAM, dan pemerintah daerah Sumatera Utara.
Ketika negosiasi di Mapoldasu, Wakapolda berkeras bahwa kasus ini akan tetap diproses secara pidana, dan menyarankan agar pihak keluarga korban membuat surat permohonan penangguhan penahanan ke Polres.
6 Maret 2013, pihak keluarga korban menyampaikan surat permohonan penangguhan penahanan ke Polres. Hasilnya, pada 11 Maret 2013, 16 warga yang ditahan di Mapolda Sumatera Utara dikeluarkan dengan status tahanan luar.
Sejak konflik ini terjadi, Juni 2009, masyarakat adat dua desa ini sembari bekerja menyadap getah kemenyan, selalu berjaga-jaga di lahan. Mereka sangat khawatir terhadap pihak TPL yang tetap berupaya melanjutkan aktifitas penebangan di lahan mereka, meskipun sudah ada kesepakatan stanvast.
Namun sejak September 2012, pihak TPL melalui kontraktornya, CV Sumber Jaya, milik salah seorang anggota DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan, kembali melakukan penebangan di lahan. Warga sudah berkali-kali melaporkan hal ini ke pihak kepolisian dan pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Dan atas pengaduan warga, maka pada 30 Januari 2013, Kapolres bersama Uspida Kabupaten Humbang Hasundutan telah melakukan investigasi ke lapangan, yang dilanjutkan dengan dialog (pertemuan) bersama warga di kantor TPL sektor Tele. Kesepakatan pada dialog ini: akan diadakan musyawarah bersama para pihak tentang rencana pihak TPL yang akan melakukan penebangan pohon eucalyptus yang berada di wilayah adat warga dua desa tersebut.
Musyawarah belum berlangsung, namun pada tanggal 21-22 Januari 2013, pihak TPL melalui kontraktor lainnya, yakni CV Rolan, sudah melakukan aktifitas kembali di areal Dolok Ginjang dan Aek Sulpi. Warga pun kembali melarang para pekerja ini, dan meminta para pekerja meninggalkan wilayah adat tersebut. Namun berkali-kali dilarang, pihak TPL masih tetap melanjutkan aktifitasnya di lahan tersebut dengan dalih bahwa pihaknya sudah memperoleh RKT 2013 (Rencana Kerja Tahunan) di wilayah tersebut dari kementerian kehutanan.

Kembalikan Tanah Adat kami ; Kemenyaan


“TPL tebang pinus, kami tak peduli, itu pemerintah yang tanam. Tapi tolong, pohon kemenyan kami yang di hutan itu jangan ditebang.” Begitu ungkapan Edu Pandiangan, perwakilan masyarakat adat Pandumaan kala pertemuan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), di Jakarta, Selasa(5/3/13).
Saat itu, perwakilan warga dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) diterima oleh Kepala Humas Kemenhut, Sumarto. Puluhan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta beserta AMAN, tetap aksi damai di depan Kemenhut.
“Hutan Kemenyan adalah Hidup Kami dan Anak Cucu.” “Cabut SK Menhut no 44/ Menhut-II/2005!!” “Save Pandumaan-Siputuhuta.” “Wahai pejabat kami yang terhormat. Perhatikan penderitaan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan. Kami Tertindas, Teraniaya, diintimidasi, di penjara. Tanah kami telah diambil.Help me please……!!!” “Tarik Brimob dari Pandumaan-Sipituhuta.” “Bebaskan 16 Warga Pandumaan- Sipituhuta yang ditahan.” Itu sebagian tulisan dalam poster dan spanduk aksi.
Konflik berawal saat terbitSurat Keputusan Menteri Kehutanan No 44/Menhut-II/2005,  berisi pengavlingan kawasan hutan di Sumatera Utara (Sumut). Tak lama PT  Inti Indorayon Utama, perusahaan yang didirikan Sukanto Tanoto ini, melanjutkan konsesi yang sempat ‘beku’ dan tampil bernama baruPT Toba Pulp Lestari (TPL) ,dengan wilayah kerja antara lain di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Kala perusahaan masuk, gesekan dengan warga mulai terjadi. Mengapa? Karena, tanah dan hutan adat warga Pandumaan-Sipituhuta, masuk di wilayah konsesi perusahaan.
Parahnya, kata Edu, penyelesaian konflik antara warga dan PT TPL, berlarut-larut.  Dari 2009, warga sudah mengadu agar konflik diselesaikan, dari level daerah hingga Kemenhut.  Padahal, kasus sudah jelas, masyarakat adat sudah tinggal turun menurun ratusan tahun di wilayah itu. Saat izin konsesi PT TPL masuk, kampung mereka ada di dalamnya. “Kami maudiapain?”
Menurut Edu, dia sudah generasi ke 15 tinggal di sana, berarti sekitar 300 tahun, turun menurun. “Setelah 2005 masuk TPL,kalolihat konsesi perusahaan, kampung kami itu ada di dalam TPL. Kuburan nenek moyang kami juga di sana.”
Edu membenarkan, jika warga tak memiliki surat menyurat atas tanah itu. Meskipun tak bersurat, sejak zaman dulu, mereka tahu di mana batas-batas tanah masing-masing keluarga. Dia heran, pada zaman Belanda, berkuasa, tanah adat mereka di Register 41 itu diakui, tetapi kala dikuasai Indonesia,”Kokberubah jadi tanah negara?” kata Edu.
Untuk itu, masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, meminta pengembalian tanah dan hutan adat sekitar 4.000 an hektar. Dia heran, mengapa keinginan masyarakat sulit terwujud. Padahal, warga bukan ingin menebang hutan, malah berjuang menjaga hutan kemenyan yang ditebangi perusahaan. “Bapak (Kemenhut) tanam pohon satu miliar, tapi ini hutan kami habis dibabat.”  “Hutan kami hancur, Kepolisian diam, Kemenhut diam,” ucap Edu.
Bahkan, saat konflik pecah berulang kali, terakhir penangkapan 16 warga Pandumaan-Sipituhuta, belum ada titik terang penyelesaian.  Saat ini, kondisi di lapangan masih mencekam. Brimob masih berjaga-jaga, warga dalam kekhawatiran. “Kami perlu penyelesaian seperti apa. Soalnya kami sudah diobrak abrik. Laki-laki tidak bisa jalan. Ini akibat izin Kemenhut. Kami masyarakat kecil yang cinta damai, kalau sampai tumpah darah itu berkat Kemenhut.!”
Perjuangan masyarakat sebenarnya sudah ada membuahkan hasil. Mereka sudah lapor ke pemda dan DPRD sampai Dewan Kehutanan Nasional (DKN).  DKN bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah pemetaan menentukan tapal batas.
Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kemenhut melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012. Isinya, agar tanah atau wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan negara. Ini juga sesuai Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Namun, hingga kini, belum ada kejelasan dari Kemenhut. “Kami mau mempertanyakan sampai di mana tindaklanjut surat bupati itu?” kata Mina Susana Setra, Deputi II Urusan Advokasi AMAN. AMAN pun, kata Mina, telahmengirimkan surat  ke berbagai lembaga negara (pemerintah). “Kami ingin masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, aman.”
Arifin Saleh, Deputi I Sekjen AMAN Bidang Kelembagaan , Komunikasi dan Penggalangan Sumber Daya pun meminta, dari Kemenhut ada langkah taktis, setidaknya dalam waktu dekat demi menjamin keamanan warga. Dalam kondisi saat ini, sangat penting langkah Kemenhut meredam konflik.
Saat itu, Sumarto mengakui jika dia tak mengetahui konflik antara warga Pandumaan-Sipituhuta dan PT TPL. Namun, dia berniat membantu penyelesaian kasus. Sumarto menawarkan program-program yang dimiliki Kemenhut dan dia ingin menceritakan konflik-konflik yang sudah ‘sukses’ ditangani.
Sayangnya, karena minim informasi tentang konflik ini, dia hanya menawarkan pola-pola penanganan, bukan tindaklanjut kasus yang sudah dilaporkan baik oleh warga maupun Bupati Humbang Hasundutan ke Kemenhut. Bahkan, ada surat Juni tahun lalu yang berisi rekomendasi DKN belum ada tindaklanjut dari Kemenhut.
Menurut Sumarto, sesuai peraturan, kewenangan ada di daerah. Jadi bupati harus bertindak dulu, misal menegur perusahaan,  setelah, tidak mampu, baru lapor ke Kemenhut.  “Saya minta apakah sudah ada surat bupati kepada PT TPL, yang menegur perusahaan,” kata Sumarto.
“Bapak baca dulu saja dokumen itu. Itu ada semua kesepakatan, bahkan surat bupati ke Kemenhut tentang kasus ini. Bupati sudah mengadukan? Surat bupati sampai di mana? kata Edu. Akhirnya, pertemuan itupun tak ada titik temu.
Absennya Otoritas Negara
Menyikapi masalah ini, Myrna Safitri, Sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria juga Direktur Epistema Institut  mengatakan, konflik masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dengan PT TPL adalah cermin mendesaknya upaya luar biasa penyelesaian konflik agraria.  “Segala proses mediasi dari komisi negara semacam Komnas HAM dan lembaga multipihak seperti DKN dan rekomendasi pemerintah daerah  serta lain-lain tidak mampu menyelesaikan konflik ini secara memuaskan,” katanya.
Hal yang paling nyata dari proses ini,  adalah absennya otoritas dari lembaga-lembaga itu untuk memastikan rekomendasi mereka ditaati instansi pemerintah lain. Hakikat tugas dan kewenangan dari Komnas HAM, DKN, kata Myrna,  memang tidak memungkinkan mereka melangkah lebih jauh.  “Kasus ini mengingatkan kita lagi pada dua hal yang disampaikan oleh Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria.”
Pertama, pemerintah dan DPR tidak dapat lagi menunda pembahasan tentang lembaga independen penyelesaian konflik agraria. Ketika relasi kuasa antar para pihak tidak berimbang, konflik tidak bisa diselesaikan dengan mediasi multipihak.  Untuk itu, perlu ada independensi pihak yang menyelesaikan konflik.  Sifat putusannya pun mengikat bagi para pihak,  dan ada kewenangan merekomendasikan perubahan kebijakan. “Bagaimanapun, banyak konflik berasal dari penerbitan suatu kebijakan atau keputusan administrasi.”
Kedua, aparat keamanan, khusus Polri, perlu keluar dari modus penegakan hukum yang legalistik.  “Ya, dipahami Polri berada di hilir dari proses muncul dan bereskalasi konflik., tetapi, Polri juga perlu melihat akar konflik sebelum menjalankan penegakan hukum.”
Tak hanya itu, ujar dia, harus segera diakhiri tindakan-tindakan oknum aparat yang memberikan perlindungan keamanan pada perusahaan. Kejadian ini berlangsung di banyak tempat, tidak hanya di Pandumaan-Sipituhuta. “Ini menunjukkan aparat keamanan telah menjadi sumber ketidakamanan bagi masyarakat.”


Sumber :http://www.mongabay.co.id/2013/03/05/masyarakat-pandumaan-sipituhuta-kembalikan-tanah-adat-jangan-ganggu-hutan-kemenyan-kami/#ixzz2PPOnwtSI