Sabtu, 29 September 2012

Warga Pollung kehilangan mata pencaharian


HUMBAHAS- Ratusan warga di Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas kehilangan mata pencarian mereka dari pertanian kemenyan setelah kehadiran pabrik pulp (bubur kertas) PT Toba Pulp Lestari (TPL). “Sekitar 450 hektare hutan telah dirusak PT TPL dan 6.100 hektare hutan kebun kemenyan milik masyarakat telah dirampas melalui izin rencana kerja tahunan (RKT) dari pemerintah pusat melalui menteri kehutanan,” ujar Kepala Desa Pandumaan, Budi Lumbanbatu (45) dalam sebuah pertemuan dengan jemaat GBKP Karo dan Deliserdang di Gereja GKPI Pandumaan, Sabtu (1/9).
Dikatakannya, dengan tameng perluasan area, TPL telah ‘menyita’ tanah warisan nenek moyang masyarakat petani kemenyan di kedua desa tersebut. Padahal, lahan kemenyan warga telah diusahai secara turun terumurun sejak ratusan tahun silam dan menjadi salah satu sumber mata pencarian warga selama ini. “Kami sangat merugi dengan keberadaan TPL di Humbahas. Bayangkan, sebelumnya warga dapat panen berlimpah dari pohon kemenyaan, sekarang ratusan kepala keluarga (KK) menganggur akibat pohon kemenyan yang sudah musnah akibat perlakuan TPL yang menghabisi pohon pelindung kemenyan di sekitar tanaman eukaliptus mereka (TPL, red),” terang budi.
Masyarakat Kecamatan Pollung sendiri sudah berkali-kali melakukan perlawanan terhadap TPL dengan melakukan demonstrasi maupun mendatangi pemda setempat serta DPRD mengenai penyerobotan hak wulayat adat masyarakat, hingga kini penyelesaian sengketa lahan warga dengan TPL belum juga tuntas. “Beberapa kali warga dan perantau mendatangi dan melakukan unjuk rasa kepada pihak dewan terhormat agar menolak kehadiran perusak tatanan kehidupan masyarakat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta. Tapi hasil perjuangan kami sampai saat ini belum ada,” sambung Karsie Sihite (50) salah seorang warga Desa Pandumaan.
Diterangkanya, warga Pandumaan dan Sipitu Huta telah mengalami kehilangan mata pencarian sejak tahun 2008. Dimana sejak tahun itu, perluasan rencana kerja tahunan (RKT) TPL semakin merajalela. “Beberapa hal sudah kami lakukan, termasuk para perantau dari kedua desa ini sudah ikut untuk menghentikan liberalisme yang dipraktikkan perusahaan raksasa itu (TPL, red), tapi Menteri Kehutanan sampai sekarang belum memberi tanggapan,” ujarnya.
James Sinambela (53) salah seorang Ketua Kelompok Petani Kemenyan Pollung mengungkapkan, masyarakat di Desa Pandumaan dan Sipitu Huta kini semakin kesulitan untuk menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak. “Uang sekolah anak kami dulunya rata-rata dari hasil penjualan kemenyan. Tapi sejak kehadiran TPL, masyarakat kini semakin menderita. Karena secara perlahan, TPL terus merusak pohon kemenyan di area sengketa,” papar James. Ia menegaskan, kehadiran PT TPL hanya membawa bencana, serta mengancam kelangsungan hidup ekosistem hutan.
“Eukaliptus itu tanaman pohon egois, tidak bersahabat, banyak menyedot humus, tanah dan air di sekitarnya, sehingga rentan menimbulkan anak-anak sungai tidak berfungsi,” terangnya. Sementara itu, Jannus Lumban Batu tokoh masyarakat mengatakan, PT TPL telah menyerobot tanah adat warisan nenek moyang warga di Kecamatan Pollung dengan dalih memperoleh izin HPH dari Menteri Kehutanan.
“Kemenyan yang merupakan tanaman primadona dan menjadi andalan mata pencarian warga Pollung kini sudah mulai habis. Masyarakat sebenarnya tidak merelakan tanah yang ditumbuhi pohon kemenyan dirusak dengan berbagai eksistensi penebangan PT TPL dengan dalih RKT. Tapi, kekuatan TPL hingga kini masih mengalahkan kami,” ungkapnya Yang paling menyedihkan lagi, sambung Jannus, PT TPL juga membuka ruas jalan di atas lahan milik masyarakat dan melakukan perkerasan dengan limbah boiler berbentuk abu hitam dari buangan pengelolaan kayu milik TPL yang ada di Porsea.
“Pekerjaan PT TPL tersebut dirasakan sangat menyiksa masyarakat, secara perlahan dan secara nyata telah merusak tatanan kehidupan masyarakat,” ketus Jannus. Dengan kondisi tersebut, warga Pandumaan dan Sipitu Huta tersebut berharap agar DPR, DPRD Sumut dan pemerintah segera menyikapi dan menanggapi keluhan masyarakat di Kecamatan Pollung.
Humas PT TPL Lambertus Siregar saat dihubungi METRO, Senin (3/9) melalui ponselnya mengatakan, terkait tanaman kemenyan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan pertemuan dengan pemda setempat, DPRD serta warga. “Saat pertemuan itu, kita sudah setujui siap menyediakan pohon kemenyan di 7.000 hektare area HPH PT TPL yang ada di Kecamatan Pollung, bahkan sudah ada pelatihan-pelatihan petani kemenyan terhadap warga di sana kita fasilitasi,” kata Lambertus.
Ia juga membantah bahwa PT TPL telah merampas lahan warga di Kecamatan Pollung untuk pembukaan akses jalan ke area konsesi. “Kalau memakai lahan warga untuk membuka akses jalan ke area kita itu tidak ada. Justru warga yang sering memakai jalan yang kita buka untuk akses ke lahan pertanian mereka,” pungkasnya. (jona/hsl)

Berjuang untuk Haminjon


DOLOK SANGGUL - Lima ratusan warga Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, melakukan aksi demo ke Mapolres Humbang Hasundutan, Kamis (27/9). Mereka menolak pemanggilan 8 warga dari Desa Pandumaan sebagai saksi bentrok fisik di Tombak Sitangi, Desa Sipitu Huta.
Di mana dalam bentrok itu, warga berhadapan dengan salah seorang anggota Brimob Briptu Hotbastian Simamora dan seorang security perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari Tbk Frengky Hutagaol, Rabu (19/9) pukul 10.00 WIB.
“Warga, hanya mempertahankan tanah ulayat milik bersama masyarakat Desa Pandumaan dan Sipitu Huta dari pembabatan hutan yang dilakukan TPL. Jika itu tetap berlanjut, kami tidak akan dapat makan dan tidak mampu menyekolahkan anak-anak kami lagi,” ujar Haposan Sinambela saat aksi berlangsung.
Dia menjelaskan, warga kedua desa tersebut sama sekali tidak ingin bentrok dengan aparat kepolisian, apalagi Brimob yang bertugas. “Tapi sudah 4 tahun kami memperjuangkan tanah warisan ini melalui demo dan kesepakatan bersama mengusulkan revisi lahan warga dari cengkeraman TPL. Tapi TPL tetap membuka areal dengan memperluas lahan yang sudah ditanami pohon kemenyaan oleh warga. Jadi, kami sebenarnya menganggap TPL sebagai musuh kami,” tandas Sinambela.
Dikatakannya, melalui rapat antara Uspida Humbahas, PT TPL dan warga Desa Pandumaan dan Sipitu Huta, telah menghasilkan kesepakatan untuk tidak ada lagi aktivitas penebangan pohon di hutan kemenyan warga oleh pihak TPL. ”Artinya, kesepakatan di lokasi sengketa itu adalah stanvas. Tapi justru TPL ingkar atas kesepakatan itu,” imbuhnya.
Massa yang sempat bersitegang dengan aparat kepolisian, mengancam akan terus melakukan demo ke Mapolres Humbahas jika pemanggilan terhadap 8 warga tetap dilakukan. “Kami tidak mengerti hukum, kami hanya tau tanah warisan nenek moyang kami hendak dirampas oleh TPL, sehingga kami berusaha mempertahankan tanah leluhur kami dari penggerogotan pihak PT TPL. Kami akan selalu mempertahankan tanah warisan nenek moyang kami, sampai revisi SK 44/Menhut-II/2005 dan tata batas konsesi PT TPL di sektor Tele dikeluarkan Menteri Kehutanan RI,” ujar Karsi Sihite, warga Desa Pandumaan.
Tuntutan Warga Disetujui
Aksi demo yang berlangsung lebih dari satu jam di Mapolres Humbahas, disambut langsung oleh Kapolres Humbahas AKBP Heri Sulismono. Kehadiran massa, sempat memacetkan jalur lalu lintas Dolok Sanggul-Siborongborong. Setelah menyampaikan tuntutan, pihak Polres Humbahas dan perwakilan massa akhirnya menyepakati ke-8 warga dimaksud tidak jadi dipanggil dan akan melakukan musyawarah bersama melalui pertemuan dengan Uspida Plus serta pihak PT TPL guna mencari solusi penyelesaian konflik. Setelah adanya kesepakatan tersebut, massa pun akhirnya membubarkan diri dengan tertib.
Amatan METRO, peserta aksi di dominasi kaum ibu, pelajar bahkan Balita. Tanpa ragu-ragu, sejumlah anak yang masih berstatus pelajar turut serta membawa poster penolakan pemanggilan 8 warga dari Desa Pandumaan sekaitan penyerangan ratusan warga ke area pembukaan jalan baru area konflik konsesi PT TPL tanggal 19 September lalu, hingga berujung pada penganiayaan warga terhadap Briptu Hotbastian Simamora dan Frengky Hutagaol, serta membakar satu unit alat berat jenis excavator yang ada di lokasi bentrokan.
Ke mana Lagi Petani Mengadu?
Menanggapi konflik agraria tersebut, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Utara, Kusnadi, kepada METRO, Kamis (27/9) mengatakan, bahwa konflik agraria di Sumatera Utara khususnya antara warga di Kecamatan Pollung dengan pihak PT TPL merupakan sebuah kepentingan pragmatis dan cenderung menguntungkan pemegang modal.
“Mental serakah untuk merebut tanah rakyat dan perampas hasil bumi rakyat saat ini telah bermetamorfosa. Berbagai payung hukum tentang agraria hanyalah aturan yang digunakan untuk menindas dan mendinginkan riak perlawanan rakyat,”ujar Kusnadi.
Para korporasi dan spekulan tanah menjadikan tanah komoditi dagang dan bisnis sepihak. Sehingga, petani dan orang miskin secara perlahan tapi pasti akan digusur. Hak masyarakat adat juga digusur dan mengikis pengakuan hokum adat.”Jika sudah hokum adat, tanah ulayat dan hak rayta miskin atau petani juga sudah tidak diakui, kemana lagi petani akan mengadu..?maka perlawanan akan terjadi dan menimbulkan masalah baru,”imbuh Kusnadi. (jona/hsl)