Rabu, 10 Oktober 2012

Mencekam, Jalan ke Dua Desa Pandumaan dan Sipituhuta Diblokade

DOLOKSANGGUL –Suasana di Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Selasa (9/10) kembali mencekam. Hingga tadi malam,ribuan warga memblokade jalan ke desa mereka untuk mencegah masuknya polisi yang akan mengamankan delapan warga. Massa didominasi kaum ibu, pria lanjut usia dan anak-anak bersiaga di dua jalan masuk menuju desa tersebut.

Mereka mempersenjatai diri dengan parang, kayu balok dan benda keras lainnya sebagai tanda siap menghalau polisi yang datang untuk membawa warga. Selain berjaga-jaga,warga juga membuat portal dan memeriksa setiap kendaraan yang masuk ke desa mereka. Sweeping ini dilakukan guna mengantisipasi adanya penyusup yang masuk. Seorang warga Desa Sipituhuta, Toga Lumban Batu,37,mengatakan, warga desanya dan Desa Pandumaan bersiaga setelah merebaknya kabar bahwa kedelapan warga mereka akan dijemput paksa petugas Kepolisian Resor (Polres) Humbahas. 

Kedelapan warga tersebut akan diperiksa terkait aksi kerusuhan saat berdemo menentang operasional PT Toba Pulp Lestari (TPL) di lahan yang menjadi sengketa, pada Rabu (19/9). Bentrokan pecah di Desa Sipitu Huta hingga mengakibatkan seorang petugas sekuriti PT TPL dan seorang personel Brigade Mobil (Brimob) terluka.Warga juga membakar satu ekskavator serta merampas senjata api personel Brimob tersebut. Polisi pun memanggil kedelapan warga untuk diperiksa sebagai saksi. 

Toga mengungkapkan, situasi desanya kembali memanas setelah adanya kabar bahwa Kepala Polres Humbahas Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Heri Sulismono menghubungi tokoh adat untuk menyerahkan kedelapan warga tersebut. Bahkan,beredar pula kabar di masyarakat bahwa polres akan menjemput paksa dengan mengerahkan personel Brimob. 

Permintaan Heri itu dinilai sebagai bentuk pengingkaran janji yang disampaikannya saat menerima aksi unjuk rasa di Kantor Polres Humbahas, Kamis (27/9) lalu.Warga juga menyatakan sikap untuk bertahan dengan proses adat lebih dahulu. Ini disebabkan insiden yang terjadi karena warga mempertahankan tanah adat. “Sebelumnya kami sudah berupaya untuk menempuh jalurhukumuntukpenuntasankasus sengketa lahan kami dengan PT TPL,namun tidak ada hasil. 

Pemkab Humbahas juga terkesan lambat dalam menuntaskan kasus yang sudah empat tahun berjalan. Karenaitulahkamimemilih untuk melindungi sendiri tanah adat kami,”papar Toga. Dia meminta insiden yang terjadi pada Rabu 19 September 2012 harus dilihat dengan arif.Kondisi itu dipicu adanya sikap yang tidak baik dialami warga saat meminta PT TPL menghentikan aktivitasnya di lahan yang saat ini diusulkan untuk direvisi ke Kementerian Kehutanan.Warga tidak menginginkan kekerasan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hukum. 

“Pada waktu kami minta dihentikan aktivitas disana petugaskeamananyangmengancam warga. Bahkan, dari informasi aparat Brimob yang bertugas pada waktu yang menantang warga dengan bahasa yang dianggap melecehkan,”imbuhnya. Kepala Polres Humbahas AKBP Heri Sulismono mengatakan, penjemputan paksa memang menjadi pilihan terburuk setelah berbagai upaya mediasi dan etika komunikasi sudah dilakukan. 

Tugas yang dijalankan polisi juga merupakan bagian dari amanah karena dalam kasus tersebut ada yang dicederai dan mengalami kekerasan. “Polisi menjalankan tugas. Kami sudah menempuh berbagai cara sehingga seharusnya kita bekerja sama. Saya heran kenapa hanya dua desa ini yang sulit untuk kita jalin kerja sama,”katanya. Berbagai upaya mediasi melalui pertemuan dengan sejumlah pihak sudah dilakukan, termasuk pertemuan antara perwakilan warga dengan pihak Muspikayangjugadihadirikejaksan dan ketua pengadilan negeri. 

Namun, warga menafsirkan berbeda pertemuan tersebut.“Saya sudah meyarankan agar kedelapan warga yang kami panggil untuk diserahkan. Kemudian kita lakukan konsultasi dengan pihak polda sehingga ada solusi yang baik,”paparnya. Terkait dengan adanya blokade jalan yang dilakukan warga, Heri menilai terlalu berlebihan dan tidak perlu terjadi. Karena polisi melihat dari aspek pidana yang terjadi karena perbuatan warga. 

“Kalau memang berani berbuat ya kami minta juga berani bertanggung jawab,”paparnya. Sementara itu, anggota Komisi A DPRD Sumut Sopar Siburian mengatakan, rencana penangkapan terhadap kedelapan warga tersebut kurang tepat waktunya. Lebih baik kepolisian mengoptimalkan komunikasi yang baik kepada masyarakat. Sebab,metode pendekatan bisa meredam gejolak. “Ini kan persoalan PT TPL mau buka jalan dan rakyat keberatan. 

Masyarakat yang melanggar hukum memang harus tanggung jawab. Kalau masyarakat tidak setuju mengenai rencana penangkapan, pihak kepolisian harus jelaskan alasannya. Kan masyarakat kita sudah pintar-pintar sekarang,” kata politisi asal Partai Demokrat ini. DiamenilaiPT TPLselalumelakukan pola lama,yakni menggunakan aparat dalam hal pembebasan lahan.

Hasilnya,aparat kepolisian dan warga yang jadi korban bentrokan.“Jangan dibenturkan masyarakat dengan kepolisian. Ini kan awalnya dari PT TPL, kenapa jadi warga dengan aparat yang bentrok.Seharusnya pihakperusahaanjuga harus berkomunikasi dengan baik dan duduk bersama dengan warga.Jangan sampai ada keributan,” tandasnya. 

Sumber Baringin Lumban Gaol, Panggabean Hasibuan  (Wartawan Seputar Indonesia)

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/533885/37/

1 komentar:

  1. tutup aja tuh PT. TPL kehadirannya membawa malapetaka....

    Bravo...bravo....bravo utk warga panduman waspadai selalu antek-antek PT. TPL yg ada disekitar kalian

    BalasHapus