Jumat, 06 September 2013

Masyarakat Pandumaan Sipituhuta Tuntut 4.100 Hektare Hutan Adat Dikembalikan


JAKARTA – Masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan tegas meminta pemerintah lewat Kementerian Kehutanan mengembalikan 4.100 hektare hutan adat yang berisi tanaman kemenyan yang sejak tahun 2009 masuk konsesi PT Toba Pulp Lestari, dikembalikan kepada masyarakat.
“Kami tetap pada pendirian awal, tanah adat yang di dalamnya tumbuh pohon kemenyan yang dari generasi ke generasi diwariskan leluhur kami, kami mohon dikembalikan.
Karena tanah ini warisan leluhur, kami bertekad memertahankannya, supaya kami bisa kembali menyekolahkan anak-anak. Kami tidak akan bermitra dengan perusahaan PT TPL,” ujar Ketua Persatuan Petani Kemenyan Pandumaan-Sipituhuta, James Sinambela di Jakarta, Senin (2/9).
Permintaan yang sama juga dikemukakan perwakilan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta lainnya, Haposan Sinambela. Ia bahkan menilai solusi yang ditawarkan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan, Bambang Hendroyono, hanya omong kosong. Karena sampai saat ini, penebangan hutan kemenyan di kawasan Pandumaan-Sipituhuta masih terus dilakukan PT TPL.
“Penebangan dan pembukaan jalan masuk ke dalam hutan kemenyan kita masih terus terjadi. Kami ketakutan, karena tetap ada Brimob tetap menjaga. Karena itu yang kami inginkan seperti yang saya katakan di (pertemuan) di Humbahas, bahwa pemerintah adalah yang memberikan izin dan pemerintah berhak menganulir izin yang sudah dikeluarkan,” ujarnya.
Haposan menyatakan hal tersebut, karena sebelumnya pada kunjungan kerja Dirjen BUK ke Humbahas, 29 Mei lalu, Dirjen telah meminta agar pada areal lahan yang menjadi sengketa antara PT TPL dengan masyarakat, diminta untuk tidak melakukan penebangan pohon kemenyan.
“Jadi tolong direvisi izinnya, supaya tidak ada bentrokan antara TPL dengan masyarakat.
Yang kami butuhkan saat ini masyarakat bisa aman. Selama lima tahun ini kami sudah merasakan kehilangan, karena kami tidak bisa membiayai pendidikan anak-anak kami,” katanya.
Menurut Haposan, sebelum PT TPL beroperasi, masyarakat bisa menghasilkan 500 kilogram per tahun dari satu hektar hutan kemenyan. Namun setelah TPL beroperasi, untuk memeroleh 50 kilogram saja masyarakat sangat sulit.
“Jadi kami mohon, revisi batasnya supaya tidak ada bentrokan antara TPL dan masyarakat. Kami tidak menyimpang dari hasil pembicaraan pada 29 Mei lalu,” katanya.
Perwakilan masyarakat perempuan, Rusmedia boru Lumban Gaol, juga menyatakan hal senada. Dengan sesunggukan, ia menyatakan kalau hutan kemenyan ditebang, sama halnya menebas leher masyarakat.
“Kami tidak mau menjadi budak (bekerja di PT TPL). Lebih baik makan rumput dari pada menjadi budak. Karena itu kami mohon tolong kami, Pak. Kami tidak minta kekayaan, asal bisa kami hidup sederhana, anak kami bisa dikasih makan. Sekarang ini anak terus dipulangkan guru dari sekolah. Pakaian dinas dan sepatu sudah robek-robek,” katanya.
Menanggapi usulan tersebut, Dirjen BUK, Bambang Hendroyono, mengaku sangat memahami keinginan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. “Pertemuan sebelumnya (29 Mei) telah disepakati areal yang menjadi persoalan, jangan lagi dikelola apalagi ditebang. Lha kalau masih disentuh, ya salah.
Saya mau lihat Rencana Kerja Tahunan (RKT TPL) tahun ini. Kalau nggak patuh aturan dan komitmen saya, kita bisa cabut (izin PT TPL),” ujar Bambang di hadapan perwakilan masyarakat dua desa termasuk yang berada di perantauan dan Direktur PT TPL, Juanda Panjaitan.
Namun begitu, Bambang mengaku perlu mengetahui secara pasti apakah benar PT TPL masih melakukan penebangan pohon kemenyan. Menurutnya pada pertemuan sebelumnya telah disepakati beberapa hal. Di antaranya, PT TPL tidak diperbolehkan menebang pohon kemenyan.
Terhadap pohon-pohon yang sebelumnya telah ditebang, perusahaan penghasil bubur kertas tersebut diharuskan menanaminya kembali.
“Kalau hilang, harus ditanami lagi. Bibitnya harus yang bagus, hasilnya dijamin oleh perusahaan agar lebih naik harganya. Ini semua harus tertuang dalam RKT PT TPL. Yang pasti jaminan kemenyan akan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Jadi ini arah saya dulu ke sana,” katanya.
Dalam meningkatkan taraf hidup, pemerintah menurut Bambang juga mengusulkan adanya pola kemitraan. Langkah ini bukan berarti tidak memerhatikan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengelolaan hutan adat.
“Kami akan tetap beri kemitraan, karena itu termasuk kebijakan pemerintah untuk memberi kesejahteraan masyarakat. Kami minta perusahaan peduli,” katanya.
Usulan adanya kemitraan menurut Bambang, bukan berarti pemerintah mengenyampingkan putusan MK yang mengabulkan sebagian uji materi UU Nomor 41 Tahun 1999 beberapa waktu lalu. Dalam putusan tersebut dinyatakan, hutan adat yang sebelumnya menjadi bagian dari hutan negara, harus dimaknai sebagai hutan hak.
“Yang kemarin itu kan baru putusan MK. Sekarang lagi disusun Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Dengan keterbatasan waktu dan menunggu belum ada pegangan undang-undang yang kuat, jadi saya usulkan solusi sederhana untuk sementara waktu,” katanya.
Menurut Bambang, jika nantinya UU Masyarakat Hukum adat ada, maka kemitraan dapat saja berubah sesuai keinginan masyarakat.
“Sekarang mending cari bukti untuk memerkuat Perda masyarakat hukum adat (yang akan dibuat oleh Humbahas). Kabupaten lakukan identifikasi verifikasi masyarakat di sana. Jangan sepotong-sepotong. Kalau bilang 700 kepala keluarga, ya lakukan itu. Lha wong di daerah lain 1.000 kepala keluarga.
Yang penting masyarakat di sana semua dapat masukan. Jadi samakan bahasa kita, kita sudah cari solusi,” katanya. (gir)

0 komentar:

Posting Komentar