Rabu, 03 April 2013

Kembalikan Tanah Adat kami ; Kemenyaan


“TPL tebang pinus, kami tak peduli, itu pemerintah yang tanam. Tapi tolong, pohon kemenyan kami yang di hutan itu jangan ditebang.” Begitu ungkapan Edu Pandiangan, perwakilan masyarakat adat Pandumaan kala pertemuan di Kementerian Kehutanan (Kemenhut), di Jakarta, Selasa(5/3/13).
Saat itu, perwakilan warga dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) diterima oleh Kepala Humas Kemenhut, Sumarto. Puluhan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta beserta AMAN, tetap aksi damai di depan Kemenhut.
“Hutan Kemenyan adalah Hidup Kami dan Anak Cucu.” “Cabut SK Menhut no 44/ Menhut-II/2005!!” “Save Pandumaan-Siputuhuta.” “Wahai pejabat kami yang terhormat. Perhatikan penderitaan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, Humbang Hasundutan. Kami Tertindas, Teraniaya, diintimidasi, di penjara. Tanah kami telah diambil.Help me please……!!!” “Tarik Brimob dari Pandumaan-Sipituhuta.” “Bebaskan 16 Warga Pandumaan- Sipituhuta yang ditahan.” Itu sebagian tulisan dalam poster dan spanduk aksi.
Konflik berawal saat terbitSurat Keputusan Menteri Kehutanan No 44/Menhut-II/2005,  berisi pengavlingan kawasan hutan di Sumatera Utara (Sumut). Tak lama PT  Inti Indorayon Utama, perusahaan yang didirikan Sukanto Tanoto ini, melanjutkan konsesi yang sempat ‘beku’ dan tampil bernama baruPT Toba Pulp Lestari (TPL) ,dengan wilayah kerja antara lain di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Kala perusahaan masuk, gesekan dengan warga mulai terjadi. Mengapa? Karena, tanah dan hutan adat warga Pandumaan-Sipituhuta, masuk di wilayah konsesi perusahaan.
Parahnya, kata Edu, penyelesaian konflik antara warga dan PT TPL, berlarut-larut.  Dari 2009, warga sudah mengadu agar konflik diselesaikan, dari level daerah hingga Kemenhut.  Padahal, kasus sudah jelas, masyarakat adat sudah tinggal turun menurun ratusan tahun di wilayah itu. Saat izin konsesi PT TPL masuk, kampung mereka ada di dalamnya. “Kami maudiapain?”
Menurut Edu, dia sudah generasi ke 15 tinggal di sana, berarti sekitar 300 tahun, turun menurun. “Setelah 2005 masuk TPL,kalolihat konsesi perusahaan, kampung kami itu ada di dalam TPL. Kuburan nenek moyang kami juga di sana.”
Edu membenarkan, jika warga tak memiliki surat menyurat atas tanah itu. Meskipun tak bersurat, sejak zaman dulu, mereka tahu di mana batas-batas tanah masing-masing keluarga. Dia heran, pada zaman Belanda, berkuasa, tanah adat mereka di Register 41 itu diakui, tetapi kala dikuasai Indonesia,”Kokberubah jadi tanah negara?” kata Edu.
Untuk itu, masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, meminta pengembalian tanah dan hutan adat sekitar 4.000 an hektar. Dia heran, mengapa keinginan masyarakat sulit terwujud. Padahal, warga bukan ingin menebang hutan, malah berjuang menjaga hutan kemenyan yang ditebangi perusahaan. “Bapak (Kemenhut) tanam pohon satu miliar, tapi ini hutan kami habis dibabat.”  “Hutan kami hancur, Kepolisian diam, Kemenhut diam,” ucap Edu.
Bahkan, saat konflik pecah berulang kali, terakhir penangkapan 16 warga Pandumaan-Sipituhuta, belum ada titik terang penyelesaian.  Saat ini, kondisi di lapangan masih mencekam. Brimob masih berjaga-jaga, warga dalam kekhawatiran. “Kami perlu penyelesaian seperti apa. Soalnya kami sudah diobrak abrik. Laki-laki tidak bisa jalan. Ini akibat izin Kemenhut. Kami masyarakat kecil yang cinta damai, kalau sampai tumpah darah itu berkat Kemenhut.!”
Perjuangan masyarakat sebenarnya sudah ada membuahkan hasil. Mereka sudah lapor ke pemda dan DPRD sampai Dewan Kehutanan Nasional (DKN).  DKN bersama Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan sudah pemetaan menentukan tapal batas.
Hasil dari pemetaan ini pun sudah disampaikan ke Kemenhut melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat Nomor 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012. Isinya, agar tanah atau wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi TPL dan kawasan hutan negara. Ini juga sesuai Keputusan DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Panitia Khusus SK 44/Menhut-II/2005 dan Eksistensi PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Namun, hingga kini, belum ada kejelasan dari Kemenhut. “Kami mau mempertanyakan sampai di mana tindaklanjut surat bupati itu?” kata Mina Susana Setra, Deputi II Urusan Advokasi AMAN. AMAN pun, kata Mina, telahmengirimkan surat  ke berbagai lembaga negara (pemerintah). “Kami ingin masyarakat Pandumaan-Sipituhuta, aman.”
Arifin Saleh, Deputi I Sekjen AMAN Bidang Kelembagaan , Komunikasi dan Penggalangan Sumber Daya pun meminta, dari Kemenhut ada langkah taktis, setidaknya dalam waktu dekat demi menjamin keamanan warga. Dalam kondisi saat ini, sangat penting langkah Kemenhut meredam konflik.
Saat itu, Sumarto mengakui jika dia tak mengetahui konflik antara warga Pandumaan-Sipituhuta dan PT TPL. Namun, dia berniat membantu penyelesaian kasus. Sumarto menawarkan program-program yang dimiliki Kemenhut dan dia ingin menceritakan konflik-konflik yang sudah ‘sukses’ ditangani.
Sayangnya, karena minim informasi tentang konflik ini, dia hanya menawarkan pola-pola penanganan, bukan tindaklanjut kasus yang sudah dilaporkan baik oleh warga maupun Bupati Humbang Hasundutan ke Kemenhut. Bahkan, ada surat Juni tahun lalu yang berisi rekomendasi DKN belum ada tindaklanjut dari Kemenhut.
Menurut Sumarto, sesuai peraturan, kewenangan ada di daerah. Jadi bupati harus bertindak dulu, misal menegur perusahaan,  setelah, tidak mampu, baru lapor ke Kemenhut.  “Saya minta apakah sudah ada surat bupati kepada PT TPL, yang menegur perusahaan,” kata Sumarto.
“Bapak baca dulu saja dokumen itu. Itu ada semua kesepakatan, bahkan surat bupati ke Kemenhut tentang kasus ini. Bupati sudah mengadukan? Surat bupati sampai di mana? kata Edu. Akhirnya, pertemuan itupun tak ada titik temu.
Absennya Otoritas Negara
Menyikapi masalah ini, Myrna Safitri, Sekretaris Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria juga Direktur Epistema Institut  mengatakan, konflik masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta dengan PT TPL adalah cermin mendesaknya upaya luar biasa penyelesaian konflik agraria.  “Segala proses mediasi dari komisi negara semacam Komnas HAM dan lembaga multipihak seperti DKN dan rekomendasi pemerintah daerah  serta lain-lain tidak mampu menyelesaikan konflik ini secara memuaskan,” katanya.
Hal yang paling nyata dari proses ini,  adalah absennya otoritas dari lembaga-lembaga itu untuk memastikan rekomendasi mereka ditaati instansi pemerintah lain. Hakikat tugas dan kewenangan dari Komnas HAM, DKN, kata Myrna,  memang tidak memungkinkan mereka melangkah lebih jauh.  “Kasus ini mengingatkan kita lagi pada dua hal yang disampaikan oleh Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria.”
Pertama, pemerintah dan DPR tidak dapat lagi menunda pembahasan tentang lembaga independen penyelesaian konflik agraria. Ketika relasi kuasa antar para pihak tidak berimbang, konflik tidak bisa diselesaikan dengan mediasi multipihak.  Untuk itu, perlu ada independensi pihak yang menyelesaikan konflik.  Sifat putusannya pun mengikat bagi para pihak,  dan ada kewenangan merekomendasikan perubahan kebijakan. “Bagaimanapun, banyak konflik berasal dari penerbitan suatu kebijakan atau keputusan administrasi.”
Kedua, aparat keamanan, khusus Polri, perlu keluar dari modus penegakan hukum yang legalistik.  “Ya, dipahami Polri berada di hilir dari proses muncul dan bereskalasi konflik., tetapi, Polri juga perlu melihat akar konflik sebelum menjalankan penegakan hukum.”
Tak hanya itu, ujar dia, harus segera diakhiri tindakan-tindakan oknum aparat yang memberikan perlindungan keamanan pada perusahaan. Kejadian ini berlangsung di banyak tempat, tidak hanya di Pandumaan-Sipituhuta. “Ini menunjukkan aparat keamanan telah menjadi sumber ketidakamanan bagi masyarakat.”


Sumber :http://www.mongabay.co.id/2013/03/05/masyarakat-pandumaan-sipituhuta-kembalikan-tanah-adat-jangan-ganggu-hutan-kemenyan-kami/#ixzz2PPOnwtSI

0 komentar:

Posting Komentar