Kamis, 12 September 2013

Nestapa Tombak Haminjon Pandumaan Sipituhuta ( Bagian I ): Hutan Alam Punah, Kemenyan Rakyat Musnah



MONGABAY.CO.ID - Ujung Danau Toba dan barisan gunung-gunung berselimut kabut berjajar menawan dari ketinggian dari atas menara pandang lokasi wisata Panorama Indah Tele. Sekitar satu jam perjalanan dari lokasi wisata panorama indah ini, siang itu, 26 Agustus 2013, pukul 11.35, empat mobil rombongan field tripwartawan berhenti di depan portal pos security PT Toba Pulp Lestari (TPL) Sektor Tele. Seorang security satu persatu memeriksa isi mobil. Sepuluh wartawan keluar dari mobil, tetap saja rombongan dilarang masuk ke dalam areal TPL sebelum dapat izin dari atasan.  Seorang warga yang hendak dijadikan jaminan, security tetap melarang masuk.  Kami akhirnya baru diizinkan masuk ke dalam lokasi TPL, setelah salah seorang wartawan berunding  via telepon dengan salah satu humas perusahaan
Tiga mobil –salah satu mobil berisi seorang polisi menenteng senajata laras panjang— mengawal kami berkeliling areal perusahaan. Kiri kanan jalan tanah itu pohon-pohon eukaliptus menjulang tinggi. Sesekali tumpukan kayu alam terlihat di kiri kanan jalan. Sisa-sisa kayu alam bekas tebangan terlihat jelas. Tak jauh dari hamparan bekas hutan yang telah terbuka itu, sebuah plang kayu bercat hijau dari kayu  tertulis: PT Toba Pulp Lestari Tbk, sector Tele, Blok RKT 2013 (Loa), luas 1.900 ha, jumlah petak 53. Artinya sepanjang tahun 2013, TPL harus menebang 1.900 ha termasuk di dalamnya hutan alam.
Tumpukan kayu alam di areal PT TPL. Foto: Made Ali
Tumpukan kayu alam di areal PT TPL. Foto: Made Ali
“PT TPL menebang hutan alam atau rimba campuran atas izin Menteri Kehutanan,”kata Betman Ritonga, humas PT TPL. Ia mengatakan TPL juga melestarikan hutan kemenyan. Ia menunjukkan pada wartawan pohon dan karet kemenyan tersebut.
Sekitar 50 meter dari tempat Ritonga berdiri, Manohak Pandiangan menunjukkan pada saya lokasi peristiwa pada 25 Februari 2013. Lokasi itu bekas hutan kemenyan yang ditebang untuk membuat jalan oleh TPL. “Jalan ini dibuat oleh TPL untuk menebang hutan adat kemenyan Pandumaan Sipituhuta,” kata Pandiangan. Di samping jalan menurun tajam itu terlihat hutan alam. “Butuh dua sampai tiga jam perjalanan untuk sampe ke sini jalan kaki dari desa.”
Kami meninggalkan lokasi, melanjutkan perjalanan menuju Desa Pandumaan dan Sipituhuta.  Pandiangan menunjukkan pada saya lokasi yang terhampar dan tempat Ritonga berdiri adalah hutan adat kemenyan. “Areal yang gundul ini areal hutan adat pandumaan sipihutan, perkiraan saya 80 hektare hutan adat yang telah ditebang ini,” kata  Manohak Pandiangan. “Ini belum seberapa, nangis saya melihatnya.”
Pandiangan berkisah, sejak TPL menghancurkan hutan adat kemenyan pada 2009, penghasilannya turun drastis. “Sekarang 50 kg kemenyan sulit didapat dalam setahun,” kata pria asli Pandumaan pada 10 Juni 1977, “sebelum TPL beroperasi tahun 2009, saya bisa dapat 200 kg setahun.” Harga kemenyan bervariasi mulai dari Rp 80 ribu-Rp 120 ribu. “Tergantung kualitas kemenyannya.”
Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali
Truk sedang mengangkut kayu alam dari areal PT TPL. Foto Made Ali
Untuk panen pohon kemenyan tidaklah mudah. Biasanya mereka bekerja menoreh getah kemenyan dari Juni hingga September. Masa panen bulan Desember hingga Januari. “Biasanya senin pagi berangkat ke hutan, Jumat atau Sabtu kembali ke rumah. Minimal lima hari tinggal dalam hutan.”
Salah satu dampak bagi Pandiangan,“Istri saja kalau saya pulang membelakangi saya sesekali, karena gak bawa hasil lagi,” katanya sambil tertawa. Pandiangan harus menghidupi tiga anaknya dari hutan kemenyan.“Seberapa dapat dari kemenyan, saya tetap bertahan bertani kemenyan sampai mati meski harus melawan TPL. Karena ini warisan nenek moyang saya.”
Sebuah mobil tronton kami lintasi sedang membawa kayu alam. Saat melewati kantor Humas TPL, mobil kami melaju, menolak ajakan makan siang Ritong. Dari TPL menuju Pandumaan Sipituhuta butuh waktu satu jam perjalanan. Desa Sipituhuta bersebelahan dengan Desa Pandumaan di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbahas, Sumatera Utara. Dua desa ini berjuang mempertahankan hutan adat kemenyan, sumber utama pencaharian mereka.
Di Posko Perjuangan Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta, kami disambut sekira 20 warga bersama perwakilan KSPPM dan AMAN. Di halaman posko di atas sebuah tikar kami duduk melingkar, mencatat kisah perjuangan mereka mempertahankan hutan adat.
“Desa ini saja masuk dalam areal PT TPL,” kata Delima Silalahi, pendamping warga dari KSPPM. Silalahi merinci, total Pandumaan Sipituhuta 6.500 hektare terbagi atas 2.400 wilayah desa, 4.100 hutan adat kemenyan. “Sampai saat ini, sudah 500 ha hutan adat kemenyan yang ditebang TPL.”
Tumpukan kayu alam di kanan kiri jalan areal PT TPL. Foto: Made Ali
Tumpukan kayu alam di kanan kiri jalan areal PT TPL. Foto: Made Ali
Bukan hanya menebang hutan alam dan hutan adat kemenyan, warga juga jadi korban kriminal PT TLP. “Pintu rumah saya didobrak polisi. Kemenakan saya laki-laki yang cacat ditunjangi, ditampari,” Jetty Helmi Boru Hutasoit, 38 tahun mengenang peristiwa dini hari itu, 26 Februari 2013.
Pada dini hari tersebut, Polisi dilengkapi senjata laras panjang masuk ke Desa Pandumaan. Polisi meminta warga segera masuk ke dalam rumah. Hutasoit meminta suami dan kemenakan laki laki masuk ke kamar. Bersama sembilan ibu-ibu di halaman kampung menghadapi polisi. Polisi menyuruh ibu-ibu masuk rumah. “Kenapa saya masuk? Ini rumah saya. Ini kampong saya. Masuk, kata Brimob, sambil ditodongkan senjatanya ke saya,”kata Hutasoit. Karena takut, dia bersama ibu ibu lainnya masuk ke rumah.
Tiba-tiba, pintu rumahnya didobrak polisi bersenjata laras panjang.“Suami saya ditarik dari tempat tidur, saya peluk, saya tak mau lepas suami saya. Jangan bawa suami saya, saya bilang begitu sambil menangis,”mata Hutasoit berkaca-kaca. Hutasoit terjatuh dari tempat tidur, senjata polisi diacungkan ke muka Hutasoit.  “Tiga lapis baju suami saya koyak, ditarik dan dibawa ke mobi. Saya menangis.” Dini hari itu polisi kembali menangkap 15 warga. Setelah sehari ditahan, suami Hutasoit dilepas bersama 14 orang lainnya.
Korban berikutnya Haposan Sinambela, ia pendeta GPDI Pandumaan. Ia dituduh provokotar oleh polisi atas peristiwa 25 Februari 2013. “Aku tak bisa dibilang provokator. Aku anak asli pandumaan. Juga pemilik hutan adat kemenyan di sini, warisan nenek moyangku.”
Sehari sebelumnya, pada 25 Februari 2013, pukul 10.00. Dia mendoakan ratusan warga yang hendak menuju ke hutan adat kemenyan. “Saya berpesan menjaga batas supaya jangan dilewati oleh TPL, jangan anaris. Jadi kita doakan,” kata Sinambela.
Sekitar 250 warga berangkat ke tombak Haminjon (hutan kemenyan). Warga menemukan sekitar 20 pekerja TPL sedang menanam eukaliptus di lokasi hutan adat kemenyan. “Di sisi lain terdengar suara mesin chain saw yang sedang menebang pohon. Truk pengangkut bibit  dan pupuk pun terbakar,” kata Pandiangan. “Di situ juga ada brimob lengkap dengan senjata laras panjang dan alat berat.”
Buntut peristiwa ini, polisi menangkap 16 warga dan dibawa ke Polres.“Mereka menjalani pemeriksaan tanpa didampingi pengacara sampai pukul 00.45, tanggal 26 Februari 2013,” kata Silalahi. Polisi memburu warga Pandumaan Sipituhuta karena dituduh telah membakar kendaraan milik perusahaan.
Selama sebelas hari ditahan di Polda Sumut, Sinambela akhirnya dilepa atas desakan media, gereja-gereja dan aktifis. “Kewajiban saya mengingatkan Jemaah sebagai seoragn pendeta.”
Pendeta Haposan Sinambela, juga petani kemenyan. Sama dengan cerita Manohak sebelumnya, pendapatannya kini pun berkurang. Ia kian sulit menghidupi keluarganya. “Dulu masuk sekolah bisa kita kasih jajannya lima ribu rupiah. Sekarang tak ada lagi jajannya. Ongkosnya ke sekolah enam ribu rupiah. Kadang kadang kita berhutang sama mobil. Saya punya anak enam.”
Pemicu konflik PT TPL dengan masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta lantaran Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian Hak pengusahaan HTI PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU) sekarang PT. TPL milik Sukanto Tanoto yang mendapat konsesi seluas 269.060 hektar di 6 kabupaten di Sumatera Utara. Keenam kabupaten itu meliputi, Kabupaten Tapanuli Utara (termasuk Kabupaten Humbanghas setelah dimekarkan) seluas 134.671 ha, Kabupaten Tapanuli Selatan seluas 38.774,5 ha, Kabupaten Toba Samosir seluas 32,842,8 ha, Dairi seluas 31,627 ha, Simalungun 22,533 ha dan Tapanuli tengah 8,641 ha.
Pandiangan, Sinambela dan Hutasoit bersama 700 kk desa Pandumaan dan Sipituhuta berjuang mempertahankan hutan adat kemenyan. Mereka semua satu suara: hutan adat kemenyan telah dirambah oleh PT TPL sejak 2009 tanpa sepengetahuan mereka.


Rabu, 11 September 2013

Kapolres Humbahas Diprapidkan


MEDAN- Dinilai tidak profesional, Kapolres Humbang Hasundutan (Humbahas) AKBP. Heri Sulesmono, Sik bersama Kasat Reskrim AKP. Hannry PH Tambunan, SE dan Aiptu Rocky Sianturi, dipraperadilankan (Prapid) oleh Manarsar Lumbantoruan alias  Oppu Lasma (72), melalui kuasa hukumnya,  Ungkap Sitompul, Maruli M Purba dari kantor pengacara Ungkap Sitompul SH dan rekan.
Prapid tersebut telah disidangkan di PN Tarutung, Taput. Selain itu, Kapolres Humbahas juga dilaporkan ke Presiden, Kapolri, Ketua Komisi III DPR-RI, Kompolnas di Jakarta, Kapoldasu dengan tembusan Karo Pers Poldasu, Kabid Propam Poldasu dan lainnya.
“Kita terpaksa memprapidkan Kapolres Humbahas dan anggotanya, kemudian melaporkan tindakan sewenang-wenang mereka atas penangkapan dan penahanan klien kami (Manarsar Lumbantoruan alias Oppu Lasma red) ke Presiden, Kapolri, Ketua Komisi III DPR-RI, Kompolnas dan Kapoldasu,” kata Ungkap Sitompul didampingi timnya Maruli M Purba kepada wartawan, Minggu (8/9).
Dia menyebutkan, surat pengaduan tertanggal 29 Agustus 2013 No.035/US-SH/VIII/2013 ditujukan kepada Presiden RI dengan surat No.036/US-SH/VIII/2013 kepada Kapolri dengan surat No.037/US-SH/VIII/2013 ditujukan kepada Ketua Komisi III DPR-RI dan No.024/US-SH/VIII/2013 tanggal 12 Agustus 2013 ditujukan kepada Kapolda Sumut Irjen Pol Drs. Syarif Gunawan.

FB:Polres HUMBAHAS
“Kita minta bantuan perlindungan hukum, atas ketidak profesionalan Kapolres Humbahas menelaah laporan polisi No. LP/144/VII/2013/Humbahas tanggal 24 Juli 2013 pukul 19.10 WIB an NS hingga melakukan penahanan terhadap klien kami sejak 24 Juli 2013,” tegas mereka.
Atas hal ini, dirinya menyebut supaya Poldasu melakukan gelar perkara atas kasus tersebut. Mereka mengatakan, Kapolres Humbahas sangat nyata berpihak kepada pelapor (NS), sebab kasus pengeroyokan yang dilaporkan Manarsar, tidak ditanggapi.
“Kita minta supaya tidak terjadi keberpihakan sebagaimana perlakuan Kapolres AKBP Heri Sulesmono dan penyidiknya kepada pelapor yang mengaku dicabuli sementara laporan pengeroyokan dan penganiayaan yang dialami Manarsar tidak ditanggapi,” katanya.
Dikatakannya, Manarsar telah melaporkan kasus pengeroyokan dan penganiayaan pada 25 Juli 2013 Nomor : LP/146/VII/2013/Humbahas, an Frengky DH Sihombing. Adapun yang melakukan tindakan main hakim sendiri itu adalah Arkan Hutasoit, Jantri Hutasoit , Tono Hutasoit dan Gunnes Sihombing dan sampai saat ini, mereka tidak pernah diperiksa.
Menurut mereka, keberpihakan tersebut dapat dinilai dari kronologi kasus yang berawal pada Rabu (24/7) pukul 17.00 WIB. NS memeriksakan anaknya MH (3,5) ke praktek dr Rebekka Sitanggang atas keluhan sakit jika buang air kecil.
Entah apa hasil pemeriksaan dokter tersebut lantas NS menuduh Manarsar Lumbantoruan sebagai pelakunya sehingga sore itu juga suami NS bernama AH dan (adek-adeknya) mengeroyok Manarsar.
Tidak lama kemudian, Manarsar ditangkap oleh Brigadir Indra Sirait dkk anggota Polsek Lintong Nihuta Polres Humbahas dan malam harinya pukul 19.30 WIB, Manarsar langsung dijebloskan kedalam tahanan dalam keadaan luka-luka di mata, wajah dan tangan.
Ironisnya, pada malam itu juga, penyidik langsung menerbitkan Surat Perintah Penahanan Nomor : SP-Han/62/VII/2013/Reskrim tanggal 24 Juli 2013 dengan pertimbangan bukti yang cukup. Sesuai Laporan Polisi Nomor : LP/144/VII/2013/Humbahas tanggal 24 Juli 2013 Pukul 19.10 WIB an pengadu NS, walapun dipastikan satu alat bukti saja tidak ada, saksi tidak ada dan kapan serta dimana kejadian belum diketahui apalagi calon tersangka belum diperiksa.
“Sangat tidak logika, hanya dalam waktu singkat (4 jam) dari waktu pengaduan pukul 19.10 WIB ( penerimaan Pengaduan di SPKT) sampai dengan pukul 24.00 WIB sudah memeriksa saksi-saksi, olah TKP.
Keterangan lisan dr Rebekka Sitanggang, artinya belum Visum et refertum yang legalitas (diterbitkan oleh dokter ahli kandungan yang berkompeten),” terangnya, dengan menyebutkan, jika Visum diterbitkan oleh yang bukan ahli dibidangnya maka sangat membahayakan bagi terlapor karena dimungkinkan sakit pipis itu dikarenakan jatuh dari sepeda dayung yang mana M setiap harinya bermain dengan menggunakan sepeda dayung anak-anak dan karena faktor lain dan bukan karena cabul atau dicabuli pihak lain.
Mereka berharap, supaya Poldasu menarik kasus itu sekaligus melakukan gelar perkara, sehingga penyidikan kasus tersebut tidak mencederai hukum.
“Kita sudah menyurati Kapoldasu Cq Direktur Ditreskrimum Poldasu supaya dilakukan gelar perkara,” katanya.
Dirinya juga memperlihatkan surat permohonan kepada No:025/US-SH/VIII/2013 tanggal 12 Agustus 2013 ditujukan kepada Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumut Bapak Kombes Pol Drs M.Siregar, SH, Surat No: 026/US-SH/VIII/2013 tanggal 12 Agustus 2013 ditujukan kepada Pengurus Daerah Ikatan Dokter Indonesia Perwakilan Sumut hal mohon dilakukan pemeriksaan Kode Etik Kedokteran terhadap dr Rebekka Sitanggang Kepala UPT Puskesmas Sigompul Kecamatan Lintong Nihuta, Surat No : 027/US-SH/VIII/2013 tanggal 12 Agustus 2013 ditujukan kepada Kapolres Humbahas Polda Sumut Tentang mohon agar Marcella Malona Hutasoit terduga korban kasus pencabulan diperiksa oleh dokter ahli kandungan forensik kehakiman RS Dr Pirngadi Medan.
Bahkan, kuasa hukum Manarsar Lumbantoruan juga minta Kapoldasu menindak tegas Kasat Reskrim Polres Humbahas Hannry Tambunan dan AIPTU ROCKY Sianturi dkk yang meniru/memalsukan tandatangan Manarsar Lumbantoruan pada kolom kiri bawah Surat Perintah Penangkapan Nomor : SP.Kap/86/VII/2013/Reskrim diterbitkan di Tapian Nauli tanggal 24 Juli 2013. (gus)

Jumat, 06 September 2013

Harga Kemenyan di Humbahas Anjlok

DOLOKSANGGUL. Harga kemenyan di Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas) anjlok antara Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per kilogram. Penyebab turunnya harga kemenyan hingga kini belum dipastikan tapi diduga akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Indikasi penurunan harga kemenyan diduga diakibatkan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat,” kata Kepala Dinas (Kadis) Perindagkop Kabupaten Humbahas, Drs JW Purba kepada MedanBisnis, Selasa (3/9) di ruang kerjanya.

Untuk saat ini, katanya, Pemkab Humbahas tetap melakukan antisipasi atas tekanan harga komoditas di Humbahas kendati belum signifikan. “Melalui pemantauan harga bahan pangan strategis maupun harga komoditas di seluruh pasar tradisional,” jelasnya.

Dari data penurunan harga yang dihimpun Dinas Perindagkop Humbahas pada harga tanggal 23 Agustus dan Jumat (30/8), di mana harga dasar kemenyan untuk jenis arit bakat Rp 160.000/kg turun pada kisaran harga Rp 150.000/kg. Kemenyan jenis samsam di kisaran harga Rp 75.000/kg sebelumnya Rp 90.000/kg, kemenyan jenis jurur Rp 60.000/kg harga sebelumnya Rp 80.000/kg.

Pemkab akan melakukan antisipasi terhadap penurunan harga kemenyan tersebut. Hal itu dilakukan untuk mengurangi besarnya kerugian yang dialami petani. ”Kita melakukan antisipasi agar harga kemenyan tidak dipermainkan oleh oknum yang memanfaatkan kondisi penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,“ jelasnya.

Terkait penurunan harga kemenyan di Humbahas, Bukka Lumbantoruan, pemerhati ekonomi Humbahas mengatakan, harga kemenyan turun diduga akibatkan intervensi pasar kemenyan di dunia. Diharapkan perlu melakukan tindakan dengan lebih mengintensifkan informasi harga kemenyan di pasaran dunia kepada masyarakat petani kemenyan di Humbahas.  (ck 10)

Pemkab Humbahas & Kejari Dolok Sanggul Jalin Kerja Sama

HUMBAHAS- Pemkab Humbahas dan Kejari Doloksanggul menjalin kerja sama untuk menyelamatkan aset negara melalui penerapan tugas JPN (Jaksa Pengacara Negara), Selasa (3/9).
Kerjasama itu ditandai dengan penandangan MoU (memorandum of understanding) antara Bupati Humbahas Maddin Sihombing dan Kajari Doloksanggul Herus Batubara.
Sosialisasi penerapan hukum penyelamatan aset negara itu juga dihadiri Wakil Bupati Marganti Manullang, Ketua PN Tarutung Rosmina, Kasdim 0210/TU, Kabag Ops Polres Humbahas Kompol Herwansyah Putra, Wakil Ketua DPRD Humbahas Pantas Purba, Kasi Intelijen Kejari Doloksanggul Amardi P Barus, Sekda Saul Situmorang, Kapolsek Doloksanggul AKP HR Saragi dan lainnya.
Kajari Doloksanggul Herus Batubara mengatakan, kerjasama seperti ini sudah terjalin hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Hal itu guna mengamankan aset pemerintah.
“Kejari Doloksanggul saat ini sudah ada menangani aset pemerintah mengenai Bulog yaitu masalah beras miskin sesuai dengan SKK (surat kuasa khusus),” terangnya.
Sementara itu, Kasi Inteligen Kejadi Doloksanggul Amardi Barus menjelaskan, Kejaksaaan RI adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. “Sebagai sebuah lembaga pemerintahan, kejaksaan memiliki posisi sentral yang sangat menentukan sekali dalam penegakan hukum,” paparnya.
Amardi Barus mencontohkan, dalam sistem peradilan pidana terpadu, kejaksaan berada pada posisi sentral dalam menentukan layak tidaknya suatu perkara yang disidik oleh kepolisian atau penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk dilanjutkan ke persidangan.
“Sebagai pengendali perkara mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum karena hanya kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak. Posisi sentral inilah yang sering sekali disoroti berbagai pihak, sehingga tidak jarang menuai kritikan akan kinerja para aparatur kejaksaan,” ungkapnya.
Dalam bidang penyelamatan aset negara, kejaksaan juga mempunyai tanggung jawab yang besar. Penyelamatan aset negara tidak hanya terfokus pada bagaimana mengembalikan keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tetapi tidak tertutup kemungkinan aset negara terlepas karena negara digugat.
Sebaliknya, apabila negara atau pemerintah memandang ada aset negara atau pemerintah, maka untuk itu kejaksaan dapat berperan mewakili negara sebagai JPN untuk bertindak didalam maupun di luar pengadilan.
“Atas dasar itu, kejaksaan dapat mengajak institusi pemerintah maupun BUMN/BUMD untuk menjalan kerjasama dibidang perdata dan tata usaha negara. Tujuannya pemberian bantuan hukum dan penyelesaian sengketa hukum dibidang Perdata dan TUN (Tata Usaha Negara) baik di pengadilan maupun diluar pengadilan (litigasi dan non litigasi),” terang Amardi.
Kemudian pemberian pertimbangan hukum terhadap masalah hukum perdata dan TUN. Dalam kegiatan itu, JPN dapat dilakukan berdasarkan SKK yang diberikan oleh instansi pemerintah maupun BUMN/BUMD.
Bantuan hukum adalah tugas JPN dalam perkara perdata dan TUN untuk mewakili lembaga negara berdasarkan SKK, baik itu sebagai penggugat maupun tergugat yang dilakukan secara litigasi dan non litigasi.
Tindakan hukum lain adalah tugas JPN bertindak sebagai mediator atau fasilitator dalam hal terjadi sengketa atau perselisihan antar lembaga negara, instansi pemerintah di pusat/daerah, BUMN/BUMD dibidang Perdata dan TUN.
Dalam praktek penegakan hukumnya, maka sebelum permasalahan diselesaikan ditingkat pengadilan, maka terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui metode non litigasi melalui jalur diluar pengadilan baik bertindak mediasi, negoisasi ataupun masyawarah yang bersifat win-win solution.
Dalam sosialisasi itu juga dilakukan tanya jawab dan penandatangan nota kerjasama antara Pemkab Humbahas dan Kejari Doloksanggul. (juan/mua)


Manfaatkan Peluang Emas Penuhi Hak Masyarakat Adat Pandumaan Sipituhuta

JAKARTA, - Ronald Lumban Gaol, salah satu anggota masyarakat adat Pandumaan, Sumatera Utara, dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamis (5/9/2013), memaparkan betapa kehidupan komunitasnya dirampas. 

Masyarakat adat Pandumaan telah mengelola hutan kemenyan selama ratusan tahun. Mereka memanfaatkan getah kemenyan yang diperoleh dengan cara disadap sebagai sumber penghasilan. Namun, pasca izin pengelolaan diberikan kepada sebuah perusahaan pada tahun 2009, mereka kehilangan haknya.

"Wilayah perizinan itu tumpang tindih dengan wilayah hutan kemenyan kami," cerita Ronald dalam konferensi pers hasil Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang diadakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamis (5/9/2013).

Ronald bercerita, perusahaan pemegang izin itu menebang hutan kemenyan. Warga kehilangan pohon yang menjadi sumber penghidupan. Upaya pencegahan penebangan dilakukan. Tapi, bukannya berhasil, warga justru dikriminalisasi.

"Ada tindakan pengamanan yang status hukumnya tidak jelas. Kami kehilangan hak dan merasa takut, hingga kami, terutama tetua-tetua adat, tidak berani keluar," papar Ronald yang hadir bersama rekannya, Arnold Lumban Gaol.

Konflik seperti di Pandumaan bukan satu-satunya. Kasmita Widodo, Koordinator Nasional JKPP, mengatakan bahwa asal usul permasalahan adalah soal tumpang tindihnya perizinan yang terjadi akibat tidak seragamnya peta.

Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan, mengatakan, "Diperkirakan ada wilayah hutan seluas 6000 hektar yang mengalami konflik. Itu yang sudah kita ketahui. Saya memerkirakan sebenarnya lahan yang mengalami konflik jauh lebih besar."

Saat ini, Indonesia sebenarnya memiliki peluang emas untuk menyelesaikan konflik dengan masyarakat adat dan mengakui haknya. Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Hukum Nomor 35 /PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Hutan Adat bukan Hutan Negara.

Pada Konferensi Global Pemetaan Partisipatif Wilayah Adat yang digelar di Samosir, Sumatera Utara, 25-28 Agustus 2013 lalu, 102 peserta konferensi yang berasal dari masyarakat adat dunia mendukung keputusan tersebut dan mendorong tindak lanjutnya.

Poin utama yang didorong adalah pemetaan wilayah masyarakat adat secara partisipatif, melibatkan masyarakat adat itu sendiri. Diharapkan, pementaan wilayah masyarakat adat ini bisa menjadi langkah awal untuk mengupayakan pengakuan terhadap hak masyarakat adat. 

Langkah pemetaan telah dilakukan. Masyarakat adat yang biasa mendeskripsikan wilayahnya secara lisan dan hanya dengan penanda tertentu diajak untuk berpartisipasi. Deskripsi dari masyarakat adat lalu diubah menjadi peta visual dengan bantuan GPS.

Untuk membantu pemetaan, AMAN turut melatih anak-anak muda untuk menggunakan GPS. "Kita targetkan pada tahun 2020 ada 40 juta hektar wilayah yang terpetakan. Sampai saat ini kita baru memetakan 7 juta hektar," ungkap Abdon. 

Pemerintah juga telah memiliki kebijakan One Map Policy lewat UU Nomor 4 tahun 2011. Badan Informasi Geospasial (BIG) yang mengoordinir penyusunan satu peta nasional menyatakan dukungannya pada langkah pemetaan wilayah adat.

Sumaryono, Kepala Bidang Pemetaan, Kebencanaan dan Peruahan Iklim BIG, mengatakan bahwa hasil pemetaan partisipatif bisa diserahkan kepada BIG, yang kemudian menyerahkan hasil pemetaan kepada kelompok kerja menyusun peta nasional. Ada 12 kelompok kerja yang terlibat penyusunan peta itu.

Namun, pertanyaannya kemudian, bila peta telah selesai dibuat, bagaimana jaminan masyarakat adat untuk mendapatkan haknya? Contoh, di lahan konsesi yang tumpang tindih dengan wilayah masyarakat adat, bagaimana menjamin bahwa masyarakat adat nanti akan memenangkannya?

Abdon mengungkapkan, memang butuh keberpihakan kepada masyarakat adat. Setelah pemetaan, wilayah masyarakat adat bisa dibagi menjadi tiga, yang belum diserahkan kepada pihak lain lewat izin, yang sudah diserahkan namun belum dikelola, dan yang sudah diserahkan dan dikelola pihak lain.

"Kalau yang belum ada yang mengelola kita langsung berikan pada masyarakat adat. Jika sudah ada perizinan namun belum dikelola, kita bisa cabut perizinan  dan memberikannya pada masyarakat adat. Sementara, yang sudah dikelola, ini yang perlu dibahas," ungkap Abdon.

Abdon mengatakan, di lahan yang mengalami konflik, mediasi diperlukan. Tapi, saat ini, kata Abdon, belum ada kebijakan yang mendukung langkah penyelesaian dan mencerminkan keberpihakan pada masyarakat adat. 

Hal tersebut, kata Abdon, yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, misalnya dengan menerbitkan undang-undang atau instruksi presiden yang mendukung. "Kalau tidak, konflik besar bisa terjadi, bisa bunuh-bunuhan kita," katanya. 

Peluang emas menyelesaikan konflik hutan dengan masyarakat adat perlu dimanfaatkan. Menyelesaikan konflik dan mengupayakan hak masyarakat adat lewat pemetaan partispatif dan kebijakan berarti mengupayakan tata kelola hutan yang lebih baik.

Masyarakat Pandumaan Sipituhuta Tuntut 4.100 Hektare Hutan Adat Dikembalikan


JAKARTA – Masyarakat adat Desa Pandumaan dan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan tegas meminta pemerintah lewat Kementerian Kehutanan mengembalikan 4.100 hektare hutan adat yang berisi tanaman kemenyan yang sejak tahun 2009 masuk konsesi PT Toba Pulp Lestari, dikembalikan kepada masyarakat.
“Kami tetap pada pendirian awal, tanah adat yang di dalamnya tumbuh pohon kemenyan yang dari generasi ke generasi diwariskan leluhur kami, kami mohon dikembalikan.
Karena tanah ini warisan leluhur, kami bertekad memertahankannya, supaya kami bisa kembali menyekolahkan anak-anak. Kami tidak akan bermitra dengan perusahaan PT TPL,” ujar Ketua Persatuan Petani Kemenyan Pandumaan-Sipituhuta, James Sinambela di Jakarta, Senin (2/9).
Permintaan yang sama juga dikemukakan perwakilan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta lainnya, Haposan Sinambela. Ia bahkan menilai solusi yang ditawarkan Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Usaha Kehutanan (BUK) Kementerian Kehutanan, Bambang Hendroyono, hanya omong kosong. Karena sampai saat ini, penebangan hutan kemenyan di kawasan Pandumaan-Sipituhuta masih terus dilakukan PT TPL.
“Penebangan dan pembukaan jalan masuk ke dalam hutan kemenyan kita masih terus terjadi. Kami ketakutan, karena tetap ada Brimob tetap menjaga. Karena itu yang kami inginkan seperti yang saya katakan di (pertemuan) di Humbahas, bahwa pemerintah adalah yang memberikan izin dan pemerintah berhak menganulir izin yang sudah dikeluarkan,” ujarnya.
Haposan menyatakan hal tersebut, karena sebelumnya pada kunjungan kerja Dirjen BUK ke Humbahas, 29 Mei lalu, Dirjen telah meminta agar pada areal lahan yang menjadi sengketa antara PT TPL dengan masyarakat, diminta untuk tidak melakukan penebangan pohon kemenyan.
“Jadi tolong direvisi izinnya, supaya tidak ada bentrokan antara TPL dengan masyarakat.
Yang kami butuhkan saat ini masyarakat bisa aman. Selama lima tahun ini kami sudah merasakan kehilangan, karena kami tidak bisa membiayai pendidikan anak-anak kami,” katanya.
Menurut Haposan, sebelum PT TPL beroperasi, masyarakat bisa menghasilkan 500 kilogram per tahun dari satu hektar hutan kemenyan. Namun setelah TPL beroperasi, untuk memeroleh 50 kilogram saja masyarakat sangat sulit.
“Jadi kami mohon, revisi batasnya supaya tidak ada bentrokan antara TPL dan masyarakat. Kami tidak menyimpang dari hasil pembicaraan pada 29 Mei lalu,” katanya.
Perwakilan masyarakat perempuan, Rusmedia boru Lumban Gaol, juga menyatakan hal senada. Dengan sesunggukan, ia menyatakan kalau hutan kemenyan ditebang, sama halnya menebas leher masyarakat.
“Kami tidak mau menjadi budak (bekerja di PT TPL). Lebih baik makan rumput dari pada menjadi budak. Karena itu kami mohon tolong kami, Pak. Kami tidak minta kekayaan, asal bisa kami hidup sederhana, anak kami bisa dikasih makan. Sekarang ini anak terus dipulangkan guru dari sekolah. Pakaian dinas dan sepatu sudah robek-robek,” katanya.
Menanggapi usulan tersebut, Dirjen BUK, Bambang Hendroyono, mengaku sangat memahami keinginan masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. “Pertemuan sebelumnya (29 Mei) telah disepakati areal yang menjadi persoalan, jangan lagi dikelola apalagi ditebang. Lha kalau masih disentuh, ya salah.
Saya mau lihat Rencana Kerja Tahunan (RKT TPL) tahun ini. Kalau nggak patuh aturan dan komitmen saya, kita bisa cabut (izin PT TPL),” ujar Bambang di hadapan perwakilan masyarakat dua desa termasuk yang berada di perantauan dan Direktur PT TPL, Juanda Panjaitan.
Namun begitu, Bambang mengaku perlu mengetahui secara pasti apakah benar PT TPL masih melakukan penebangan pohon kemenyan. Menurutnya pada pertemuan sebelumnya telah disepakati beberapa hal. Di antaranya, PT TPL tidak diperbolehkan menebang pohon kemenyan.
Terhadap pohon-pohon yang sebelumnya telah ditebang, perusahaan penghasil bubur kertas tersebut diharuskan menanaminya kembali.
“Kalau hilang, harus ditanami lagi. Bibitnya harus yang bagus, hasilnya dijamin oleh perusahaan agar lebih naik harganya. Ini semua harus tertuang dalam RKT PT TPL. Yang pasti jaminan kemenyan akan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Jadi ini arah saya dulu ke sana,” katanya.
Dalam meningkatkan taraf hidup, pemerintah menurut Bambang juga mengusulkan adanya pola kemitraan. Langkah ini bukan berarti tidak memerhatikan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengelolaan hutan adat.
“Kami akan tetap beri kemitraan, karena itu termasuk kebijakan pemerintah untuk memberi kesejahteraan masyarakat. Kami minta perusahaan peduli,” katanya.
Usulan adanya kemitraan menurut Bambang, bukan berarti pemerintah mengenyampingkan putusan MK yang mengabulkan sebagian uji materi UU Nomor 41 Tahun 1999 beberapa waktu lalu. Dalam putusan tersebut dinyatakan, hutan adat yang sebelumnya menjadi bagian dari hutan negara, harus dimaknai sebagai hutan hak.
“Yang kemarin itu kan baru putusan MK. Sekarang lagi disusun Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat. Dengan keterbatasan waktu dan menunggu belum ada pegangan undang-undang yang kuat, jadi saya usulkan solusi sederhana untuk sementara waktu,” katanya.
Menurut Bambang, jika nantinya UU Masyarakat Hukum adat ada, maka kemitraan dapat saja berubah sesuai keinginan masyarakat.
“Sekarang mending cari bukti untuk memerkuat Perda masyarakat hukum adat (yang akan dibuat oleh Humbahas). Kabupaten lakukan identifikasi verifikasi masyarakat di sana. Jangan sepotong-sepotong. Kalau bilang 700 kepala keluarga, ya lakukan itu. Lha wong di daerah lain 1.000 kepala keluarga.
Yang penting masyarakat di sana semua dapat masukan. Jadi samakan bahasa kita, kita sudah cari solusi,” katanya. (gir)